Page 279 - Toponim sulawesi.indd
P. 279
Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi 265
Demikian juga ketika perang Belanda melawan Bone yang berakhir pada
tahun 1905. Kota Kendari kembali menerima dampak bagi para penduduk
Bone yang datang ke Kendari karena selain faktor politik, juga karena
faktor geografis yang mudah dijangkau dari Bone. Juga komunitas tersebut
mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang. Realitas itu telah
menjadikan Kendari sebagai kota tujuan orang-orang Bugis di Sulawesi
Tenggara selain Kota Kolaka di teluk Bone.
Kedatangan orang-orang Muna di Kendari menurut catatan Ligtvoet,
tidak terlepas dari adanya konflik di Lohiya, Muna. La Ode Ngkada, yang
menjabat sebagai kapitalao di Lohiya, Muna berselisih paham dengan Raja
Muna, La Ode Bulai pada tahun 1861. Kedatangan Kapitalo di kota Kendari
disertai robongan sebanyak 300 orang. Selain itu kehadiran Kapitalo di
Kendari karena mendapat perlindungan dari Raja Laiwui, karena Kapitalou
Muna di Lohiya menikah dengan bibi dari Raja Laiwui dan pemimpin besar
orang-orang Bugis di teluk Kendari.
45
Masyarakat kota Kendari sebagian dihuni oleh etnis Bugis dan Bajo.
Orang Bugis mendiami daerah pantai, sedang orang Bajo bermukim di atas
permukaan air di teluk Kendari. Masing-masing suku itu bertempat tinggal
dalam suatu perkampungan. Perkampungan orang Bajo terletak di sebelah
Barat bukit Tanjung dan muara sungai Kendari. Pada perkembangan
kemudian, kampung Bajo dan tempat pendirian pertama loji oleh Vosmaer
menjadi pusat kota Kendari. Pemukiman penduduk di sebelah timur teluk,
kemudian menjadi Kendari Caddi sebagai tempat pendirian Asrama Militer
Belanda sejak tahun 1906.
Orang-orang Rate yang bermukim di kota Kendari berasal dari
Wawonii. Kehadiran mereka di kota Kendari karena gangguan keamanan.
Pada masa kolonial, gangguan perompakan bajak laut Tobelo menjadi
45 A Ligtvoet, “Beschijrijving En Geschiedenish van Boeton,” BKI I (1878): hlm. 22. Lihat juga; A.
Chalik Husein, B. Bhurhanuddin, and Anhar Gonggong, Sejarah Sosial Sulawesi Tenggara (Jakarta:
Depdikbud, 1984), hlm. 24.