Page 61 - Toponim sulawesi.indd
P. 61
Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi 47
petelur 219.350 ekor, ayam pedaging, 242.500 ekor, itik 18.685 ekor, dan
itik Manila sebanyak 48.258 ekor. Bantaeng menghasilkan sapi perah
sebanyak 28 ekor, sapi potong 24.863 ekor, kerbau 194 ekor, kuda 12.965
35
ekor, dan kambing sebanyak 25.113 ekor.
Gambaran kota Bantaeng pada masa kolonial adalah modernitas.
Jejak sejarah modernitas kota pantai Bantaeng dalam arti (modernitas
menurut pandangan Eropa) bisa dilacak sejak era itu. Pemerintah kolonial
Belanda menjadikan kota pantai Bantaeng sebagai pusat politik dan
ekonomi. Perbaikan infrastruktur jalan raya dan pasar dilakukan. Fasilitas
pemerintahan seperti perkantoran dan perumahan juga dilakukan untuk
membangun image kota dan kesuksesan pemerintah di kota pantai
Bantaeng. Fasilitas keagamaan seperti gereja dibangun untuk tempat
ibadah orang-orang Toraja, Eropa, dan orang-orang pribumi yang beragama
36
Kristen. Sekolah dan Jembatan dibangun di kota Bantaeng. Khusus sekolah
yang dibangun di Bantaeng adalah sekolah dengan ciri Eropa dengan
karakteristik Kristen.
Sebelum orang-orang Eropa masuk ke Sulawesi, khususnya Sulawesi
Selatan dan Bantaeng, masyarakat lokal telah memeluk agama Islam. Agama
Islam masuk ke Bantang melalui perdagangan. Nama-nama ulama seperti datu
Moeseng dan Datu Djarewe adalah pemuka-pemuka Islam yang mengembangan
perdagangan dan agama di Bantaeng pada akhir abad XIX. Islam masuk di
Bantaeng dan memberikan cirikhas pada kotanya tidak diperoleh keterangan
yang pasti. Literatur mengenai Islam di bantaeng juga tidak menyebut angka
pasti masuknya Islam. Hanya saja, berdasarkan perkiraan, Islam mengakar dalam
masyarakat Bantaeng seiring dengan adanya seruang Sultan Alauddin, Raja Gowa
agar kerajaan yang setia kepada Gowa untuk masuk Islam pada tahun 1607, dan
35 Pusat Statistik, Bantaeng Dalam Angka 2015, hlm. 148, 149, 154, 179.
36 Donselaar, “Beknopte Beschrjriving Bonthain En Boeloecoemba.” Lihat juga H.J.
Koerts, “Amtenar BB Di Sulawesi Selatan,” in Kenang-Kenangan Pangrehpraja
Belanda 1920-1942, ed. S.L. van Der Wal (Jakarta: Djambatan, 2001), 42–71.