Page 60 - Sastra Anak Sandi Budiana, M.Pd
P. 60

“Tidak kenapa-napa, Pak Putu. Aku hanya sedikit kesal karena
          tidak  mendapatkan  janur  pesanan  Ibuku”  jawabku  apa  adanya.
          Kulihat  Pak  Putu  terdiam  beberapa  saat.  Lelaki  setengah  tua  yang
          di kampungku orang kaya itu menengok ke arah rumahnya. Sebuah
          rumah  megah  dengan  tanah  yang  cukup  luas.  Sekeliling  tanah  itu
          dipagari  dengan  tembok  yang  kokoh.  Pada  beberapa  bagian  dari
          pagar tembok itu tampak ukiran khas Bali. Paling mencolok terlihat
          pada  bagian  depan  rumah,  terdapat  patung  berukuran  besar
          dengan  bentuk  berupa  tokoh  dalam  cerita  pewayangan.  “Bud,
          kamu mau ke rumah bapak?” tanyanya dengan suara yang lembut.
          Belum sempat kujawab pertanyaannya, Pak Putu sudah bicara lagi,
          “Bapak  punya  beberapa  pohon  kelapa.  Ambil  saja  janurnya  buat
          keperluan ibumu. Pasti untuk membuat ketupat kan”.
























                Tentu  saja  tawaran  itu  membuat  aku  bahagia.  Ibuku  juga  pasti
          senang dibawakan janur. Jadi tawaran yang tidak mungkin kutolak.
          Aku  ikuti  jejak  langkah  kaki  Pak  Putu  menuju  ke  rumahnya.  Dalam
          perjalanan itulah aku terus berpikir. Aku berbicara dalam hati, “Baik
          amat orang ini, padahal dia kaya raya, padahal dia tidak seagama,
          padahal  dia  tidak  sesuku,  padahal  dia  tidak  sedaerah,  padahal  …,
          padahal …, dan padahal-padahal yang lainnya.”

                                                                     56
   55   56   57   58   59   60   61   62   63   64   65