Page 110 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 110
Liem.” Dengan napas tersengal, Julia turun dari mobil, mem-
banting pintu, berjalan ke rerumputan pinggir tol.
”Astaga, Julia, kau pikir kita akan ke mana, hah? Pergi ke
restoran, lobi hotel, mencari tempat yang cozy untuk wawancara?
Kau tadi menanyakan apa yang terjadi. Lantas aku menjawab
agar kau mendengarkan baik-baik. Begitu kan, hah?” Aku ikut
turun, melangkah pincang mendekatinya.
Tol luar kota ramai. Satu-dua mobil lewat tidak terlalu me-
medulikan kami. Hanya mogok biasa—demikian sudut mata
penumpang melintas menyimpulkan. Satu-dua malah bergumam,
mobil keren-keren ternyata mogok juga.
”Aku tidak mau mengantarmu.” Julia menggeleng.
”Kau harus mengantarku!” aku berteriak kesal, menunjuk
kakiku yang masih pincang.
”Ini berlebihan. Aku tidak mau terlibat melarikan buronan
kelas kakap.”
”Kau sudah terlibat, Julia, persis saat kau penuh dengan rasa
penasaran mengaduk-aduk masa laluku. Dan jelas kau sudah
menyetir mobil sejauh ini. Kau sudah terlibat. Lagi pula, bukan-
kah kau sudah bisa menduga sejak awal, aku yang melarikan
Om Liem semalam? Mau atau terpaksa, dengan memecahkan
alarm kebakaran gedung, kau sudah memutuskan terlibat.”
Julia membungkuk, mendengus, masih berusaha mengendali-
kan diri.
”Ayolah, Julia. Ini tidak buruk. Hei, bukankah wartawan pe-
rang bertaruh dengan risiko tertembak saat menyiarkan langsung
dari lapangan? Nah, anggap saja kau juga punya risiko disangka
terlibat. Lagi pula, kau bisa mengarang banyak argumen: aku
108
Isi-Negeri Bedebah.indd 108 7/5/2012 9:51:08 AM