Page 113 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 113
teriakan marah. Mereka memukul-mukul meja-kursi, mulai tidak
terkendali.
Aku takut-takut melangkah ke depan. Opa mengikuti di
belakangku. Di halaman rumah, cepat sekali, ternyata sudah ada
puluhan orang berkumpul. Dua kali lebih banyak dibanding
setengah jam lalu.
”Bapak-Bapak, Liem saat ini ada di pelabuhan. Dia sebentar
lagi akan membawa kabar baik. Bunga uang arisan Bapak-Bapak
akan segera kami bayarkan. Juga buat yang ingin sekalian meng-
ambil pokoknya. Akan kami bayarkan semuanya,” Papa berusaha
meningkahi seruan marah.
”Kami ingin kepastian sekarang, Koh. Bukan janji-janji lagi.
Sekarang!”
”Iya! Muak kami mendengar janji-janji.”
Aku menelan ludah, mengintip dari balik tirai jendela.
Enam bulan lalu, setelah hampir dua tahun bisnis keluarga
kami melesat cepat, untuk pertama kalinya, sepulang dari gu-
dang, wajah Om Liem terlipat. Dari samar-samar percakapan-
nya dengan Papa dan Opa, aku tahu, salah satu kapal kami
tertahan di pelabuhan. Petugas bea cukai menuduh muatan
itu ilegal, dan hendak menyitanya. Om Liem berhari-hari
mengurusnya, bilang dia mengeluarkan uang besar sekali untuk
meloloskan muatan.
”Padahal semua dokumen sudah lengkap.” Om Liem meng-
usap peluh di dahi.
”Kau mungkin melupakan beberapa pejabat?” Opa bertanya
pelan, mendongak menatap langit-langit.
”Tidak, semua pihak sudah mendapatkan bagiannya. Tidak
ada yang tertinggal.” Om Liem menggeleng.
111
Isi-Negeri Bedebah.indd 111 7/5/2012 9:51:09 AM