Page 117 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 117
Gagang telepon jatuh.
Mama mendekat. ”Apa yang terjadi?”
”Ka… kapal itu sudah merapat,” Papa terbata-bata.
”Bukankah itu kabar baik?” Tante Liem bertanya.
Papa menggeleng. ”Kapal itu merapat dengan seluruh muatan
terbakar.”
Mama berseru pelan, meraih pegangan di dinding.
Wusdi bergumam pelan dengan wajah penuh simpati. ”Situasi
ini rumit sekali, Koh. Sungguh rumit... Sekali saja massa di luar
tahu kabar buruk ini, mereka bisa mengamuk.”
Opa terdiam. Mengusap kepalanya yang setengah botak.
Tunga ikut berkomentar, ”Kami ikut menyesal mendengar
kabar ini, Koh. Tapi sidang pengadilan tentang barang se-
lundupan dan ganja akan segera dilakukan siang ini. Dengan
kabar buruk ini, akan banyak pihak yang berebut menjatuhkan
keluarga kalian. Ada banyak petugas yang harus disumpal mulut-
nya. Celakanya, kalian pasti tidak punya uang lagi.”
Opa semakin terdiam.
”Bakar!” Terdengar teriakan dari luar.
”Bakar!” Yang lain menimpali.
”Apa yang harus kami lakukan?” Papa memegang lutut
Wusdi.
Wusdi dan Tunga terdiam sejenak, menyeringai.
Wusdi bergumam lagi, ”Anak buahku bisa saja menahan
massa. Membubarkan mereka, tapi massa di luar perlu jaminan
bahwa uang mereka akan dibayarkan.”
Tunga ikut bergumam, ”Kami bisa saja menarik seluruh
tuntutan, tuduhan. Tapi semua itu butuh biaya.”
”Apa saja… apa saja yang bisa memastikan keluarga kami
115
Isi-Negeri Bedebah.indd 115 7/5/2012 9:51:09 AM