Page 119 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 119

”Tidak perlu. Perintahkan seluruh anak buahmu kembali ke
               markas,” Wusdi menjawab santai.

                  Dahi sersan polisi itu terlipat, tidak mengerti. ”Bukankah kita
               seharusnya justru meminta tambahan petugas, Komandan?”
                  ”Tidak  perlu,  Sersan.  Jangankan  membayar  uang  arisan,
               keluarga ini bahkan tidak bisa membayar seperak pun upahmu
               berjaga-jaga siang ini di rumah mereka. Kapal mereka terbakar
               di pelabuhan.” Tunga menepuk bahu sersan polisi itu.
                  Sersan polisi itu terdiam. Tidak mengerti.

                  Wusdi dan Tunga santai menaiki mobil, perlahan membelah
               massa  yang  beringas.  Wusdi  menurunkan  kaca,  memberikan
               kode ke gerombolan preman. Tunga di sebelahnya tertawa me-
               nepuk-nepuk tas penuh berkas berharga.
                  PRANG!
                  Aku mengerem sepeda sekuat tenaga, seekor kucing melintas
               di gang.
                  Hari itu umurku sepuluh tahun.
                  Hari itu Papa dan Mama terpanggang nyala api. Rumah besar
               kami dibakar massa. Opa dan Tante Liem, dibantu tetangga yang
               berbaik hati berhasil melarikan diri. Om Liem yang kembali dari

               pelabuhan  dua  hari  kemudian  hanya  termangu  melihat  puing-
               puing. Aku yang pulang dari mengantarkan botol susu menangis
               berteriak-teriak melihat asap mengepul dari kejauhan. Beberapa
               tetangga mencegahku pulang ke rumah. Masih banyak gerombol-
               an tidak dikenal yang menunggui rumah.
                  Hari itu keluarga kami kehilangan semuanya.


                                          ***


                                          117




       Isi-Negeri Bedebah.indd   117                                 7/5/2012   9:51:09 AM
   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124