Page 116 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 116
sepeda. ”Hati-hati.” Dan entah kenapa Mama sempat mencium
dahiku. Tersenyum lembut. Aku menyengir, segera mengayuh,
menerobos kerumunan yang meski semakin keras berteriak,
tidak berani melewati barikade petugas.
Sementara di rumah, aku tidak tahu Papa sedang melakukan
negosiasi dengan petugas.
”Aku cemas mereka tidak bisa bersabar lagi.” Papa mengusap
dahi.
”Tenang saja, Koh. Anak buahku akan menjaga seluruh ru-
mah,” Wusdi menenangkan.
”Semua bisa diatur, Koh.” Tunga manggut-manggut.
Papa dan Opa tersenyum kecut. Belakangan ini mereka benar-
benar mengandalkan dua orang ini untuk mengurus banyak hal.
Meski semua justru semakin berlarut-larut dan rumit.
”Aku lihat di antara kerumunan lebih banyak yang bukan
anggota arisan,” Papa mengeluh.
”Mereka sepertinya bahkan membawa senjata tajam,” Opa ikut
mengeluh.
Wusdi tertawa kecil. ”Jangan cemas. Paling juga mereka hanya
tertarik melihat keramaian.”
Tunga ikut tertawa kecil. ”Biasalah. Kokoh harusnya tahu
sekali, urusan seperti ini selalu mengundang perhatian.”
Sementara itu aku terus mengayuh sepeda, melintasi gang,
jauh meninggalkan rumah. Mengantar susu. Aku tidak tahu saat
itu dering telepon terdengar di rumah.
Papa sedikit tersentak. ”Itu pasti kabar baik dari Liem.”
Semua kepala menoleh, Papa meraih telepon genggam, semua
kepala menunggu.
Papa berbicara sebentar. ”Apa?”
114
Isi-Negeri Bedebah.indd 114 7/5/2012 9:51:09 AM