Page 390 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 390
rombongan ke bandara, bukan?” Dia tertawa, menepuk pundak-
ku, sudah berjalan lebih dulu.
***
Itu benar-benar di luar dugaanku. Beberapa menit lalu aku
masih cemas memikirkan kemungkinan bertemu dengan putra
mahkota, negosiasi penyelamatan Bank Semesta, sekarang aku
bahkan sekaligus memperoleh solusi kembali ke Jakarta dengan
aman.
Tidak ada pembicaraan lagi di atas pesawat. Orang itu meng-
ajakku berkeliling, berkenalan dengan banyak orang penting.
Tertawa, menepuk-nepuk bahuku, menyanjungku sebagai konsul-
tan keuangan yang baik. ”Kita selama ini terlalu sibuk merekrut
pengacara, bah. Sudah seharusnya kita juga merekrut profesi
lain.” Salah satu dari mereka bergurau, terbahak. Aku lebih
banyak diam, mengangguk sehalus mungkin. Rudi memutuskan
duduk di kursinya, menolak sopan. Hanya dua menit aku bicara
dengan putra mahkota. Dia lelah, hendak tidur. Orang itu sekali
lagi menepuk bahuku. ”Nah, Thom, silakan beristirahat juga.
Kita lihat nanti apa yang bisa dilakukan.”
Pesawat mendarat di bandara yang berbeda, tanpa puluhan
polisi menunggu di lobi kedatangan. Lagi pula, tidak akan ada
anggota pasukan khusus yang terlalu bodoh memeriksa rombong-
an kami. Aku dan Rudi memutuskan menumpang taksi, meng-
geleng atas tawaran terakhir orang itu. Pukul 22.00, tidak ada
lagi yang bisa kulakukan. Semua urusan sudah tuntas. Opini
tentang penyelamatan Bank Semesta sudah ramai disebut-sebut
oleh pengamat dan wartawan di berbagai media massa. Per-
temuan dengan petinggi bank sentral dan lembaga penjamin
388
Isi-Negeri Bedebah.indd 388 7/5/2012 9:51:15 AM