Page 161 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
        P. 161
     pondasinya pun tidak ada lagi. Hanyut tercerabut setahun silam. Tetapi aku toh tetap
               menemuinya.  Di  tempat  pertama  kali  aku  mengenalnya.  Di  tempat  dia  membatalkan
               begitu saja rencana pernikahan kami. Di tempat kenangan kami
               Alysa  datang  mengenakan  gaun  putih.  Syal  hijau.  Matanya  sembab,  wajahnya  sendu.
               Dan  terisak  perlahan  setelah  setengah  jam  berlalu.  Alysa  menceritakan  banyak  hal.
               Meski lebih banyak menahan tangis. Aku hanya diam. Dulu, setiap melihatnya menangis,
               aku pasti seolah ikut menangis. Bergegas berusaha menghiburnya, melucu, memberikan
               kata-kata motivasi, apa saja.
               Malam  ini,  aku  hanya  menatap  kosong  ke  arah  lautan.  Menyerahkan  sapu-tangan.
               Lantas diam.
               Apa yang harus kulakukan? Apa yang Alysa harapkan?
               Ketika  hati  itu  terkoyak  separuhnya  setahun  lalu,  aku  sudah  bersumpah  untuk
               menguburnya  dalam-dalam.  Berjanji  berdamai  meski  tak  akan  pernah  kuasa
               melupakan. Malam ini saat Alysa bilang hubungan hebatnya dengan pria memesona itu
               gagal, aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku harus senang? Sedih?
               Marah? Tidak peduli? Ya Tuhan, ini semua sungguh menyakitkan.
               “Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa bertanya lagi, kali ini seperti
               bertanya kosong.
               Aku hanya diam. Lihatlah, Alysa dicampakkan begitu saja. Itu menurut pengakuannya.
               Apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama tidak tahunya kenapa dia dulu tiba-
               tiba  merasa  begitu  jatuh  cinta  dan  tega  membatalkan  pernikahan  kami.  Itu  bukan
               urusanku.
               “Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Suara Alysa kalah oleh
               desau angin. Tertunduk.
               Aku menggigit bibir, menggeleng, “Kau tahu, saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak
               akan  pernah  bisa  melanjutkan  hidup  dengan  hati  yang  hanya  tersisa  separuh.  Tidak





