Page 157 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 157

Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu, sehari
               setelah kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar, tetapi percuma.

               Menyakitkan.  Semua  itu  membuat  sesak.  Kalimat  itu  mungkin  benar,  ada  seseorang

               dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Alysa,
               kau pergi. Dan kau bahkan membawa lebih dari separuh hatiku.”



               Ombak  menghantam  cadas  semakin  kencang.  Bulan  purnama  di  atas  sana  membuat
               lautan malam ini pasang. Lautan yang kosong sepanjang mata memandang, menyisakan

               kerlip kapal nelayan atau entahlah di kejauahan. Jemari Alysa terlihat sedikit gemetar

               memainkan sendok-garpu.


               “Kau  tahu,  aku  melalui  minggu-minggu  menyedihkan  itu.  Dan  yang  lebih  membuat

               semuanya  terasa  menyedihkan,  aku  tidak  pernah  mengerti  mengapa  kau  pergi.
               Sesungguhnya aku tidak pernah yakin atas segalanya, aku tidak pernah baik-baik saja.

               Enam bulan berlalu, hanya berkutat mengenangmu. Mendendang lagu-lagu patah-hati,

               membaca buku-buku patah-hati. Hidupku jalan di tempat.”


               “Maafkan  aku.”  Suara  Alysa  bahkan  kalah  dengan  desau  angin,  matanya  mulai  basah
               menahan tangis.



               “Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku mendongak keluar, menatap purnama. Berusaha
               mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi.

               Kemudian  kembali  menatap  wajah  Alysa,  tersenyum,  “Kau  tahu,  di  tengah  semua

               kesedihan itu, setidaknya saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa
               melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah

               rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat  hati yang baru. Ya, hati yang
               benar-benar baru.”



               Hening lagi sejenak.


               Alysa mengangkat kepalanya, bertanya ragu-ragu, cemas, “Apakah di hati yang baru itu

               masih tersisa namaku?”
   152   153   154   155   156   157   158   159   160   161   162