Page 11 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 11
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
pancaran makna sejarah yang inspiring, terasa seperti memberikan
ilham, dan sebagai ajakan untuk melangkah ke hari depan yang cerah.
Bukankah dalam suasana hati seperti ini kita biasa sekali merayakan
tanggal 17 Agustus 1945 sebagai “Hari Kemerdekaan”, meskipun secara
faktual kedaulatan negara –bangsa barulah terwujud pada tanggal 27
Desember 1949—ketika kedaulatan Republik Indonesia secara resmi
diakui. Tetapi bukankah pada tanggal 17 Agustus semuanya dirasakan
sebagai bermula? Ketika proklamasi kemerdekaan telah diucapkan maka
roda revolusi nasional pun berputar dengan keras. Ketika itulah
pengorbanan,pengabdian, yang dilalui dengan “blood and tears” demi
tercapainya kemerdekaan bangsa menjadi acuan yang tak teringkari.
Tanggal dan peristiwa yang dirayakan itu dirasakan sebagai wakil yang
otentik dari cita-cita dan harapan bangsa yang tak kunjung padam.
Hanya saja tidak pula jarang suatu peristiwa mendapatkan
makna yang dibimbing oleh hasrat dominasi politik dan kemudian
dipelihara sebagai mitos-nasional. Jika hal ini telah terjadi kemungkinan
semakin menjauhnya kenangan dari peristiwa historis yang otentik tidak
selamanya terelakkan. Ketika mitologisasi peristiwa , yang dibimbing
oleh hasrat dominasi, dikumandangkan dan diajarkan sebagai
representasi yang otentik dari dinamika idealisme yang mengilhami
kehidupan kebangsaan maka kekeliruan dalam sistem pengetahuan pun
tidak terhindarkan. Kekaburan dalam sistem kesadaran sejarah pun
tidak pula terelakkan. Mitologisasi peristiwa yang dibimbing oleh hasrat
hegemoni atau bahkan dominasi itu dengan mudah bisa mengancam
terjadinya pengingkaran realitas historis yang sesungguhnya. Ketika
hal itu telah terjadi makna historis yang artificial, bikinan, bisa
dirasakan dan dianggap sebagai representasi dari realitas historis yang
otentik. Maka kesadaran sejarah pun tidak pula lebih daripada
kesadaran palsu belaka. Nanti ketika ketenangan telah tercapai dan
kepalsuan itu telah tersibak siapapun akan bisa berkata tentang betapa
“sejarah hanyalah alat dalam usaha peneguhan hegemoni” atau bahkan
sejarah itu hanyalah tableau dari kengawuran manusia.
Sebuah contoh yang menarik yang sampai kini tetap diulang-
ulang bahkan juga-- dan malah terlebih lagi-- oleh para pejabat tinggi
negara ialah mitos “350 tahun di bawah kolonialisme Belanda”. Mitos
ini sangat menyesatkan meskipun mungkin bertolak dari hasrat
pembuktian betapa perlawanan modern, yang dibimbing oleh hasrat
nasionalisme—suatu ideologi yang melebur semua kesatuan etnis ,
golongan dan agama dalam suatu idee kesatuan—akhirnya berhasil
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 3