Page 12 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 12
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
membawa bangsa “ke gerbang kemerdekaan”. Sudah di awal 1950-an
Resink, guru besar hukum, dengan pendekatan hukum internasional
menolak keabsyahan historis dari apa yang dianggap sebagai
pengalaman kesejarahan bangsa ini. Tetapi lebih dari pada itu mitos
“350 tahun” adalah juga pengingkaran terhadap keragaman
pengalaman sejarah yang dialami berbagai daerah di bumi Nusantara
ini. Mitos yang diperkenalkan Gubernur Jenderal de Jonge dan malah --
dengan maksud yang bertolak belakang -- sangat dipopulerkan oleh
Bung Karno memperlihatkan pengingkaran atas kenyataan historis
yang dialami berbagai kesatuan politik dalam wilayah yang kemudian
bernama Indonesia. Berbagai corak hubungan politik dan kebudayaan
serta alam pemikiran inilah yang kemudian –ketika waktunya telah
sampai—bersatu dalam ikatan kesejarahan, kebangsaan dan kenegaraan.
Ambillah beberapa contoh dari halaman sejarah beberapa
wilayah yang kini telah menjadi bagian dari negara-bangsa, Republik
Indonesia. Kalau dalam abad 17 Mataram, Aceh-Darussalam, bahkan
juga Banten, Goa-Tallo, Ternate, dan Tidore tampil dengan
memperlihatkan sinar keperkasaan, maka abad 18 adalah masa ketika
Palembang dan Jambi asyik bersaingan, meskipun terjalin oleh ikatan
kesejarahan yang akrab. Abad ini adalah pula saat ketika Riau-Johor , di
bawah aliansi Sultan, yang mewakili unsur Melayu dan berkedudukan di
Johor, dengan Yang Dipertuan Muda, yang keturunan pelaut-advonturir
Bugis,yang berkedudukan di pulau Penyengat, di kepulauan Riau,
tampil sebagai saingan yang tidak mudah didekati Belanda, yang telah
menguasai Malaka sejak pertengahan abad 17 (1641). Di suatu saat,
sebagaimana Tuhfat an Nafis ,karya besar ciptaan Raja Ali Haji,
pujangga Melayu abad 19, dengan imaginatif mengisahkan keberhasilan
Riau-Johor menghancurkan armada Belanda ( akhir abad 18) Tidak puas
dengan kemenangan ini Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Johor-Riau,
melanjutkan perangnya dengan menyerbu Malaka. Maka naskah inipun
melukiskan dengan sangat mengharukan peristiwa gugurnya Raja Haji
ketika ia menyerbu benteng Belanda, yang mendapat bantuan armada
Belanda yang kebentulan datang pada waktu yang tepat.
Akhir abad 16 dan sepanjang abad 17 adalah masa ketika
kesultanan Aceh-Darussalam sibuk memelihara dan mengembangkan
ajaran dan filsafat ke-Islaman dalam bahasa Melayu. Terlepas dari
ajaran tasauf yang dianutnya sampai kinipun syair-syair religius yang
dihasilkan Hamzah Fansuri masih terasa juga sebagai menggugah
perasaan. Tetapi sejak berpulangnya Abdurrauf al-Singkili, ahli tafsir
4 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya