Page 14 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 14
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
dirasakan dalam sistem kesadaran sebagai sesuatu yang riil dan aktual.
Tidak satu bangsa pun yang terlepas dari kecenderungan menjadikan
satu atau deretan peristiwa sejarah yang aktual sebagai simbol dari
idealisme bersama. Mitologisasi sejarah malah biasa juga terjadi untuk
dipakai sebagai alat peneguhan tekad agar hal dan peristiwa yang
membayangkan kesamaan dengan sesuatu yang tak diinginkan seakan-
akan tidak pernah terjadi. Tetapi pengingkaran sejarah—atau penisbian
kepastian sejarah (historical certainty), demi keutuhan mitos, hanya
berarti pembodohan. Berapa lamakah kita terbiasa mengejek diri sendiri
sebagai “inlander” atau kata lain yang membayangkan subordinasi
kultural, andaipun kata itu bukan lagi bersifat politik?
Sebagai hasil rekonstruksi dari berbagai ragam peristiwa dan
kejadian yang dialami masyarakat, sejarah mungkin dapat juga
menghasilkan kesimpulan yang memancarkan kearifan. Sejarah pun
mungkin bisa juga mengisyaratkan tentang hal-hal yang sebaiknya
dihindarkan. Bukankah sebuah kearifan lama – “ Belajar pada yang sudah,
melihat tuah pada yang menang” – mengajarkan tentang kearifan
kesejarahan ini? Dengan melakukan perbandingan sejarah—ketika
berbagai peristiwa yang terjadi di tempat dan waktu yang berlainan
diperbandingkan--semacam kecenderungan umum dalam dinamika
sejarah mungkin juga bisa dilukiskan. Bahkan sebenarnya bisa juga
dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan teoretis dari berbagai cabang ilmu
sosial bertolak dari pemahaman atas berbagai gejala dan peristiwa
kesejarahan. Tetapi memang mitologisasi sejarah bisa juga membawa
beberapa kemungkinan. Di samping memungkinkan bertambahnya
keakraban dengan rasa-hayat kesejarahan yang inspiring, mitologisasi
sejarah dapat juga menyembunyikan hasrat dominasi politik dan
ekonomi dan bahkan juga keabsahan dari hegemoni wacana. Memang
mitologisasi bisa mengaburkan realitas kesejarahan bahkan secara
ekstrim.
Krisis politik dan sosial yang pernah menjangkiti kehidupan
sosial-politik bangsa mungkin bisa dipakai sebagai contoh. Pada tanggal
30 September jalan 1 Oktober 1965 enam jenderal dan seorang perwira
muda mati dibunuh oleh sebuah gerakan yang berusaha melancarkan
coup. Ketika, beberapa hari kemudian, mereka dikuburkan dengan
upacara kenegaraan yang semestinya, mereka pun disebut sebagai
“pahlawan revolusi”. Aneh? Tetapi mengapa bukan harus demikian?
Bukankah peristiwa pembunuhan ini terjadi ketika negara dan bangsa
secara ideologis dikatakan sedang berada dalam suasana ‘ a summary of
6 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya