Page 16 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 16

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern



                        Seandainya  kasus-kasus  seperti  di  atas    diikuti,  sebuah
                pertanyaanpun    tertanyakan    juga,   “apakah   sejarah   hanyalah
                penyimpanan    segala  corak  kebanggaan  dan  kemegahan  di  samping
                pemeliharaan  berbagai jenis dendam sosial  dan bahkan  yang  bersifat
                pribadi ?” Tetapi sebelum pertanyaan ini dijawab  kejernihan  masalah
                sebaiknya didapatkan lebih dahulu. Pertama, para ahli sejarah tentu bisa
                saja berdebat tentang berbagai permasalahan keilmuan dan teori bahkan
                juga metodologi sejarah. Mereka pun bisa pula mempersoalkan atau bisa
                saja saling setuju tentang kesahihan  sumber dan corak rekonstruksi dan
                dinamika  peristiwa  (“bagaimana  terjadinya”),  di  samping    kepastian
                terhadap  jawab  “apa,  siapa,  bila,  dan  di  mana”.  Bahkan  bisa  saja
                mereka tidak merasa perlu berdebat tentang  “mengapa” peristiwa yang
                dikisahkan itu terjadi. Soalnya ialah  harus diakui juga  sejarah adalah
                salah satu cabang ilmu pengetahuan yang hampir selalu berada  dalam
                suasana perdebatan. Sejak masa Yunani Kuno, Thucydides , yang sadar
                akan  perbedaan  “sebab”  dengan  “alasan”  tentang  terjadinya  peristiwa,
                mengajukan  kritik  terhadap  cara  pengisahan  yang  disampaikan
                Herodotus,  sang  “bapak  Sejarah”,  yang  dianggapnya  terlalu  terlarut
                dalam suasana mitologis. Sampai sekarang pun perdebatan di kalangan
                sejarawan  mengenai  masalah  sejarah  sebagai  sebuah  cabang  keilmuan
                yang ingin mendapatkan kebenaran dari peristiwa yang terjadi di masa
                lalu, apalagi dalam renungan falsafah,  masih berlanjut juga. Jangan  –
                jangan  yang  kita  dapatkan  “bukanlah  rekonstruksi  masa  lalu”,  kata
                seorang  teoretikus  (Hayden  White)  tetapi  “realitas  literer”.  Bukankah
                semua hal yang dikisahkan—tentang apapun juga— diungkapkan dalam
                rangkaian kata-kata dalam tatanan kalimat?
                        Tetapi sudahlah,  sebab  seketika  masalah teori   dilanjutkan kita
                telah memasuki wilayah permasalahan yang berbeda.  Begitulah,  setiap
                kali  sejarah    dibicarakan  berarti  usaha  mengingat  dan  mengisahkan
                peristiwa yang pernah terjadi telah begitu saja menjadi suatu kemestian.
                Inilah  dimensi  kedua  dari  sejarah  sebagai  sebuah  cabang  ilmu
                pengetahuan. Tanpa rekonstruksi peristiwa yang pernah terjadi di suatu
                tempat  dan  di  suatu  waktu,  sejarah  telah  tampil  sebagai  renungan
                filosofis saja. Karena itulah pada tahap ini sejarawan selalu menekankan
                pentingnya    masalah  “how  the  story  should    be  told”,    bagaimana  kisah-
                sejarah  harus  dikisahkan,  dan  sibuk  pula  saling  mengingatkan  agar
                mendapatkan kisah yang sahih dan benar.  Jadi bisalah dipahami juga
                kalau  kejengkelan  akademis  tidak  terelakkan  jika  yang  didapatkan
                hanyalah daftar kejadian saja. Contoh : “Pada tahun 1627 (bila), Sultan
                Agung    (siapa)  mengerahkan  pasukan  kesultanan  Mataram  untuk



                8      Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21