Page 619 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 619
Aturan hukum di atas seharusnya memberi jalan agar partisipasi masyarakat dilibatkan dalam
pembuatan aturan. Pada praktiknya, "ketentuan ini hanya menjadi formalitas guna memenuhi
prosedur pembentukan undang-undang." Joko menyatakan, "[sepatutnya] aspirasi publik dalam
pembentukan undang-undang bukanlah hanya sekedar formalitas, sehingga harus dilaksanakan
oleh DPR dan Presiden." Sebagian orang memang menganggap partisipasi masyarakat dalam
pembentukan undang-undang hanyalah jargon . Masyarakat bisa menyampaikan masukan,
saran, keluhan, bahkan kepentingan mereka, tapi toh pengetok palunya adalah DPR.
Yang sulit dijawab adalah seberapa besar dan signifikan sesungguhnya aspirasi serta partisipasi
masyarakat berpengaruh dalam proses pembahasan substansi rancangan undang-undang yang
sedang dibahas? Joko paham betul kendati partisipasi masyarakat sudah diberikan jalan, DPR
sebagai perwakilan rakyat dari partai politik "tentu memiliki kepentingan" sebagai bagian
lembaga legislatif. Keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat lebih sebagai pencitraan belaka.
Kejadian di lapangan "partisipasi didominasi kepentingan politik dari partai politik atau
golongannya, dibandingkan kepentingan masyarakat." Dalam omnibus law, kepentingan yang
diakomodasi pemerintah dan DPR dalam pembentukan aturan ini jelas investor. Pemerintah dan
DPR menginginkan ada pemangkasan sejumlah regulasi untuk mempermudah investasi di
Indonesia. Dari situ barulah buruh mendapat manfaat. Salah satu hasil investasi itu adalah
terbukanya lapangan pekerjaan.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum indonesia (YLBHI) Asfinawati sejak awal sudah
gigih mendesak pemerintah dan DPR menghentikan--bukan menunda--pembahasan omnibus
law. Selain karena minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam merumuskan masalah, tujuan
pemerintah dalam pembuatan RUU ini bisa menyimpang dari kepentingan tenaga kerja.
"Betulkah masalah utamanya itu adalah soal tidak adanya lapangan kerja atau masalah investasi
karena hiper regulasi? Atau pertanyaan turunan lagi, apakah RUU Omnibus Law ini betul-betul
menghilangkan hiper regulasi? Padahal, kalau RUU Omnibus Law ini disahkan, akan ada ratusan,
lima ratusan lebih peraturan turunan--ini bukannya hiper regulasi lagi?" kata Asfinawati seperti
dilansir BBC .
Sedangkan Serikat buruh seperti KSPI dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia)
merasa kepentingan mereka tidak terwakili dalam omnibus law yang bakal disahkan DPR dalam
rapat paripurna hari ini, Senin (5/10/2020). Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat
menganggap keberpihakan pemerintah dan DPR memang tidak kepada pekerja. Aspirasi mereka
hanya menjadi saran, tapi jauh panggang dari kebijakan.
"Saat pembentukan tim kerja, perwakilan kami bertanya apakah nanti draft yang disusun
bersama dengan kami nanti akan jadi rujukan dan pegangan sah di DPR, pemerintah bilang:
tidak, ini hanya menampung saran. Jadi memang sudah setengah hati dan nggak niat," kata
Mirah seperti dicatat Tempo .
Beda dengan buruh, sampai hari ini, baik Kadin dan Apindo selaku pengusaha tidak ramai
menunjukkan keberatan mereka pada omnibus law. Bagaimanapun, mereka, para pengusaha
dan investor, adalah pelaku utama yang diakomodasi pemerintah dalam omnibus law.
Mengabaikan Aspirasi Buruh Ada beberapa aturan yang menurut KSPI tak layak disahkan,
antara lain : pesangon yang jumlahnya berkurang dari 32 kali menjadi 25 kali, dibayarkan oleh
perusahaan dan pemerintah; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak diatur batas
waktunya dalam omnibus law; dan penjabaran bidang-bidang kerja untuk outsourcing yang
belum jelas--sebelumnya outsourcing hanya berlaku di 5 bidang pekerjaan, tapi omnibus law
tidak tegas menyebut demikian.
Dalam rancangan omnibus law yang baru juga ditetapkan bahwa perusahaan boleh mematok
hari kerja hingga 6 hari dengan syarat waktu kerja 7 jam dalam 6 hari dengan total 40 jam kerja.
618

