Page 77 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 JULI 2021
P. 77
regulasi, terhadap konsumen dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin,"
ujarnya.
"Program vaksinasi berbayar yang dikenal dengan nama Vaksin Gotong Royong, sekalipun biaya
vaksinasi dibayar oleh pengusaha, apalagi vaksin berbayar secara individu, dikhawatirkan akan
terjadi komersialisasi vaksin atau transaksi jual beli harga vaksin yang dikendalikan oleh
produsen (pembuat vaksin)," kata Said melanjutkan.
Sebagaimana diketahui, dalam keputusan yang telah diteken oleh Menteri Kesehatan Budi
Gunadi Sadikin pada 11 Mei 2021 dijelaskan, bahwa harga vaksin gotong royong buatan
Sinopharm adalah Rp321.660 per dosis dan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp117.910 per
dosis.
Dengan demikian, jika dijumlahkan, total harga sekali penyuntikan Rp439.570 atau berkisar
Rp800 ribuan untuk dua kali penyuntikan. "Begitupula dari informasi yang didapat KSPI, bila
benar, akan dikenakan biaya pada kisaran yang sama terhadap harga vaksin berbayar secara
individu," ungkap Said.
Terkait dengan hal itu, Said menyebutkan, bahwa ada beberapa alasan yang menjadi
kekhawatiran KSPI vaksin gotong royong atau vaksin berbayar akan menyebabkan
komersialisasi.
Pertama, menurut Said, berkaca dari program rapid test untuk mendeteksi seseorang terpapar
COVID-19 atau tidak, mekanisme harga di pasaran cenderung mengikuti hukum pasar. Awalnya
pemerintah menggratiskan program rapid test, tetapi belakangan rapid test terjadi komersialisasi
dengan harga yang memberatkan.
Misalnya, Said mencontohkan, adanya kewajiban rapid test sebelum naik pesawat dan kereta
api, bertemu pejabat, bahkan ada buruh yang masuk kerja pun diharuskan rapid test.
"Akhirnya ada semacam komersialisasi, dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang
awalnya menggratiskan rapid test bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap
buruh harus melakukannya secara mandiri (membayar sendiri)," ujarnya.
"Ini yang disebut komersialisasi. Tidak menutup kemungkinan program vaksin gotong royong
dan vaksin berbayar secara individu juga terjadi hal yang sama. Awalnya dibiayai perusahaan,
tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh. Dan dengan vaksin
berbayar individu berarti hak sehat untuk rakyat telah diabaikan oleh negara karena vaksinasi
tidak lagi dibiayai pemerintah," kata Said melanjutkan.
Kedua, lanjut Said, kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan dan individu warga negara
berbeda. Said Iqbal memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu
membayar vaksin tidak lebih dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia atau
dengan kata lain hanya 20 persen dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang
perusahaannya mampu membayar vaksin gotong rotong tersebut.
Berarti, Said mengungkapkan, hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh
Indonesia atau lebih dari 80 persen dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak
mampu membayar vaksin gotong royong.
"Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus
membayar sendiri biaya vaksi gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan
ikut bertanggungjawab?. Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang
bagi buruh Indonesia," ungkapnya.
76