Page 68 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 OKTOBER 2020
P. 68
Salah satunya menyangkut jumlah halaman yang ada di draf RUU Cipta Kerja tersebut. Ada yang
menyebut 905 halaman, kemudian bertambah 1025 halaman, dan terakhir yang sudah final 1035
halaman. Namun, pada Senin (12/10), Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengatakan,
jumlah halaman draf Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) kembali berubah
dari sebelumnya 1.035 halaman kini menjadi 812 halaman.
Ini berbahaya sekali. Jelas lah, dengan adanya perubahan hingga beberapa kali setelah pertama
kali disahkan itu, rakyat dibodohi, seolah meminta rakyat baca. Padahal, draft akhir yang fiks,
belum ada.
Bahkan, draf yang kemarin disahkan seperti hanya mengesahkan kertas kosong. Mengapa
demikian? Ini karena, dengan tidak jelasnya draft akhir RUU Cipta Kerja, maka yang mana bisa
menjadi rujukannya. Di sisi lain, pemerintah sejak awal meminta masyarakat dan buruh
membaca RUU tersebut, agar tidak termakan hoaks.
Ironisnya, Serikat Buruh memegang draft yang sampai saat ini masih ada sejumlah catatan.
Seperti, soal upah minimum diganti dengan upah minimum bersyarat.
Kok bersyarat! Ini yang kemudian membuat Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) Said Iqbal meminta pemerintah jujur, kalau memang masih ada upah minimum, mengapa
disebutkan upah minimum besyarat. Apa yang diinginkan pemerintah dengan istilah tersebut?
Karena jangan sampai ini mengelabui buruh lagi. "Karena kata bersyarat ini tidak dikenal dalam
ILO. Makna bersyarat ini apa?, apakah ini ingin mengelabui buruh," katanya.
Begitu pula soal Upah Minimum Sektoral, yang dihapuskan. Bagaimana mungkin upah pabrik
baju atau sandal sama dengan upah buruh pabrik mobil. Tentu ini tidak masuk akal. Maka, tidak
ada sama rasa sama rata soal upah ini.
Kemudian tentang karyawan kontrak dan PKWT disebut ada perlindungan dan ada syarat ketat.
Namun kenyataannya, dokumen yang didapat tidak seperti itu.
Dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya syaratnya jelas, namun
dalam RUU Cipta Kerja ini dihapuskan. Karena tidak ada batas waktu kontrak, sehingga
terminnya bisa jadi berlaku seumur hidup, bukan dua tahun seperti yang diatur dalam UU lama,
no.13 tahun 2003.
Yang jadi penekanan adalah waktunya, bukan syaratnya. Di UU lama ada batas kontraknya
setelah lima tahun kalau bekerja baik, maka harus diangkat jadi pegawai tetap.
Namun, pada RUU anyar ini, tidak ada batas waktu kontrak, maka akan diulang-ulang dia
dikontrak. Karena tidak ada batas waktu, maka bisa jadi status kontraknya seumur hidup, maka
dampaknya tidak ada pengangkatan karyawan tetap.
Begitu juga soal pekerja alih daya atau outsorching , kalau di UU lama outsorching di putus
kontrak perusahaan tetap wajib bayar sisa kontrak sebelum dikembalikan ke pihak ketiga atau
agen outsorching. Namun, dalam Omnibus Law ini, tidak dijelaskan siapa yang akan membayar
sisa kontrak.
Kemudian dijelaskan ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Persoalannya siapa yang bayar?.
Tidak mungkin buruh yang membayar jaminan kehilangan pekerjaan dia sendiri.
Begitu juga soal pesangon. Dalam kesepakatan di, paripurna dikurangi dari pembayaran 32 bulan
upah jadi hanya 25 bulan upah. Penjelasannya, 19 bulan upah dibayarkan oleh pemberi kerja,
sedangkan 6 bulan upah dibayarkan oleh pemerintah, melalui skema di BPJS Ketenagakerjaan.
Persoalannya, uangnya dari mana?.
67