Page 399 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 399
Salah satunya soal upah minimum. Jokowi menegaskan, dalam UU Cipta Kerja aturan soal upah
minimum tetap ada. Jokowi juga menekankan bahwa upah minimum dihitung per jam juga
tidaklah benar. Begitu juga soal cuti. Jokowi menyebut hak cuti tetap dijamin dan tetap ada.
"Hak cuti tetap ada dan dijamin," kata Jokowi.
Jokowi menilai unjuk rasa yang berlangsung terkait penolakan UU Cipta Kerja dilatarbelakangi
adanya hoaks di media sosial. Termasuk disinformasi mengenai substansi. Dia menegaskan lagi,
jika masih ada yang menolak UU tersebut untuk diajukan ke MK. "Sistem ketatanegaraan kita
memang mengatakan seperti itu, jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak silakan
ajukan uji materi," kata Jokowi.
Selain soal upah, Jokowi juga menjelaskan tentang isu resentralisasi. Jokowi menegaskan tak
ada resentralisasi atau pemangkasan kewenangan daerah oleh pemerintah pusat dalam UU Cipta
Kerja. "Saya tegaskan juga bahwa Undang- Undang Cipta Kerja ini tidak melakukan resentralisasi
kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Tidak. Tidak ada," ucapnya.
Lebih lanjut Jokowi menjelaskan, kewenangan memberikan perizinan berusaha dan pengawasan
tetap dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda). Kewenangan tersebut, dilakukan berdasarkan
norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) yang ditetapkan pemerintah pusat. "Perizinan
berusaha dan pengawasannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan NSPK,
norma standar prosedur dan kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat," ujarnya.
Penggunaan standar NSPK ini dilakukan agar tercipta standar pelayanan yang baik di seluruh
daerah. Jokowi mengatakan, nantinya, NSPK ini akan diatur melalui peraturan pemerintah (PP).
"Ini agar dapat tercipta standar pelayanan yang baik di seluruh daerah dan penetapan NSPK ini
dapat nanti akan diatur dalam PP atau peraturan pemerintah," ungkap Jokowi.
Sebelum memberikan pernyataan, pagi harinya Jokowi menggelar rapat tertutup dengan Wakil
Presiden Ma'ruf Amin. Hal itu terlihat dari jadwal resmi Wapres yang mencantumkan rapat
internal tersebut pada Jumat pagi. Rapat dilakukan menyusul gelombang protes Omnibus Law
yang meluas di berbagai kota bahkan hingga terjadi kericuhan.
Terkait disahkannya UU Cipta Kerja, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai prosesnya
terburu-buru, tertutup, dan tidak membuka aspirasi publik. Karena itu, pengesahan UU Cipta
Kerja di tengah pandemi korona dinilai PBNU sebagai bentuk praktik kenegaraan yang buruk.
"Nahdlatul Ulama menyesalkan proses legislasi UU Ciptaker yang terburuburu, tertutup, dan
enggan membuka diri terhadap aspirasi publik. Untuk mengatur bidang yang sangat luas, yang
mencakup 76 UU, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para
pemangku kepentingan. Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang
yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk," jelas
pernyataan resmi PBNU soal UU Cipta Kerja yang ditandatangani Ketum Said Aqil Siroj, Jumat
(9/10).
PBNU juga mendorong masyarakat yang keberatan atas UU Cipta Kerja mengajukan uji materi
ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini akan menjadi jalur terbaik dan terhormat dalam
mencari keadilan dibanding mobilisasi massa, apalagi di tengah pandemi yang belum mereda
sampai saat ini. "Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan
dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan, upaya hukum
adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa," tulis
PBNU.
Jalan Panjang Namun, anggapan UU Cipta Kerja dilakukan secara tergesa-gesa ditepis anggota
Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Golkar Maman Abdurahman. Menurutnya, proses pembentukan
dan pembahasan Omnibus RUU Cipta Kerja sudah melalui jalan panjang dan berliku. Sejak
398