Page 45 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 19 OKTOBER 2020
P. 45
membentuk peraturan perun-dang-undangan hanis dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan
presiden".
Selanjutnya, pada Pasal 176 UU Ciptaker yang merevisi Pasal 350 UU Pemda, pelayanan
perizinan oleh pemda bukan hanya berlandaskan perundang-undangan melainkan juga "norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. "
UU Cipta Kerja juga mengatur bahwa kelambanan perizinan di daerah bisa diambil alih pusat
setelah diberi teguran. Selain itu, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota juga dikurangi
perannya dalam menentukan upah regional yang dalam UU Cipta Kerja berada di tangan
pemerintah provinsi.
Dalam pertemuan Apeksi pekan lalu, disepakati juga bahwa UU Ciptaker justru menggerus
semangat otonomi daerah. "Pengurus Apeksi melihat banyak sekali kewenangan daerah yang
berkurang dan bergeser kembali ke pemerintah pusat. Kami melihat semangat otonomi daerah
ini akan tergerus dengan UU Ciptaker," kata Bima Arya.
Dari rapat itu, Apeksi meng-kritisi UU Ciptaker dalam sektor perizinan, tata ruang,
dan'pengelolaan lingkungan hidup. Sebab terjadi perubahan di mana kewenangan daerah
kembali direduksi dan ditarik ke pusat. Walau demikian, Apeksi tetap membuka ruang dialog,
termasuk dengan menyerap aspirasi para pemangku kepentingan, akademisi kampus, aktivis
lingkungan hidup, serta pakar hukum dan ekonomi untuk menyerap aspirasi terkait apa saja
yang menjadi catatan di omnibus law UUCiptaker.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menyangkal bahwa UU Cipta Kerja memperkuat
sentralisasi terkait perizinan usaha. "Saya tegaskan juga bawa Undang-Undang Cipta Kerja ini
tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Tidak,
tidak ada," kata Jokowi. Ia kemudian mengajak pemerintah daerah ikut membahas turunan
regulasi tersebut. Pemerintah menyiapkan 35 peraturan pemerintah (PP) dan lima peraturan
presiden (perpres) sebagai aturan turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro,
ditariknya hak otonomi daerah sudah dimulai dengan diawali oleh UU Nomor 3 Tahun 2020
tentang Minerba. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi ditarik ke pemerintah
pusat.
Menanggapi penarikan hak otonomi daerah ini, menurut Zuhro, ada sisi negatif dan positifnya.
Dampak positifnya bisa ja-f di pembagian pendapatan untuk daerah belum maju dan tidak
memiliki sumber daya alam prospektif. Namun, dampak negatifnya, kata dia, ditariknya
kewenangan daerah dapat membuat mereka lepas tanggung jawab. "Dengan ditariknya
kewenangan daerah dalam mengelola minerba akan membuat daerah-daerah merasa tidak
memiliki tanggung jawab. Termasuk pas-ca-penambangan dan kemungkinan kerusakan-
kerusakan yang ditimbulkan," kata Zuhro, Sabtu (17/10).
Keputusan pemerintah menarik kembali kewenangan daerah ke pusat, Zuhro melanjutkan, bisa
jadi karena pertimbangan efektivitas. Terutama dalam memangkas rantai birokrasi. "Urusan
yang dipusatkan diharapkan dapat memangkas rantai birokrasi. Selain itu, dengan sentralisasi,
nuansa politik anggaran akan dikedepankan. Asumsinya dengan kekuasaan pemerintah pusat
lebih tampak dan membuatnya lebih diperhitungkan oleh daerah," kata Zuhro menerangkan.
antara ed: fitriyan
44