Page 57 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 19 OKTOBER 2020
P. 57
Bagaimana dengan Anda dan saya? Saya sendiri punya jawaban tersendiri terutama tentang
massa demo. Mungkin kalau Anda sudah pernah menonton film The Social Dilemma. Anda akan
sepakat dengan saya. Lho kok bisa? Mari kita ulas apa yang jadi pesan dari film tersebut?
Ada tiga kesimpulan dari film tersebut yang relevan untuk dijadikan benang merah terhadap aksi
demo massa UU CiptaKer-ja. Kesimpulan yang pertama adalah bahwa kebenaran persepsi
(perceptional truth] bisa jadi lebih penting dari kebenaran hakiki.
Yang kedua adalah bahwa manusia di era internet ofthings (IOT) bisa berubah menjadi robot
yang siap menerima perintah atau komando lanpa berpikir sama sekali. Yeng ketiga dan yang
paling menyeramkan adalah bahwa para ahli IT telah mengubah kita menjadi produk dan kita
bukan tagi makhluk yang mengkonsumsi produk. Kita adalah produk. Mari kita bahas satu per
satu.
Tidak jarang kita lebih mempercayai berita palsu [fake news) dan hoax. Kita sehari-hari disuguhi
dengan ratusan ribu berita dan ulasan. Jangankan untuk menguji kesahihan berita, untuk
memahami inti dari berita itu sendiri kita tidak punya waktu yang cukup.
Kita menjadi sangat bergantung pada berita atau ulasan yang disuguhkan lingkungan terdekat
atau peergroup. Kualitas pemahaman kita terhadap sebuah fenomena sangat bergantung pada
pendapat yang paling umum atau dominan di antara sesama anggota peergroup. Kita tidak lebih
dari gerombolan bebek yang ikut arus kelompok.
Karena itu dalam kasus aksi demo penolakan UU Cipta Kerja hampir bisa dipastikan bahwa
peserta demo mayoritas hanya berstatus pengikut saja. Buruh tentunya bergerak atas arahan
pemimpin serikat buruh.
Mahasiswa dan pelajar lebih banyak yang tidak tahu secara persis tentang apa yang menjadi
pesan dari aksi demo tersebut. Di era infodemic seperti sekarang, yang terpenting adalah
menyampaikan berita atau pesan yang dipersepsikan sebagai sebuah kebenaran.
Persepsi itulah yang paling penting dalam menggerakan massa aksi demo. Kebenaran yang
hakiki tidak begitu penting sepanjang tidak dipersepsikan sebagai sebuah kebenaran. Jadi,
penolakan terhadap UU tersebut tidak mesti berkaitan dengan kualitas kebenaran yang ada di
dalam UU tersebut.
Tentunya untuk membentuk persepsi, pemangku kepentingan yang harus mampu menerobos
hati sanubari di setiap segmen masyarakat. Di kalangan ahli IT bidang sosial, hal ini sudah
berkembang jauh sehingga orang diperlakukan mirip sebagai robot yang bisa diprogram.
Kalau Anda masih berpandangan bahwa mesin suatu saat akan menggantikan manusia, maka
Anda masuk pada kategori old school. Yang sekarang sedang masif terjadi justru menjadikan
manusia seperti robot. Dengan manipulasi psikologi, manusia pada dasarnya adalah mahlukyang
siap diprogram. Kalau begitu, kita adalah robot.
Jadi maraknya penolakan UU Cipta Kerja sedikit banyak menunjukkan kegagalan pemerintah di
berbagai jenjang dalam melakukan programming dalam psiko-massa. Setidaknya ini
menunjukkan bahwa pemerintah kalah cepat dalam. menciptakan persepsi.
Tentunya, nasi sudah menjadi bubur. Kalau segala sesuatunya ingin berjalan lancar, segala
bentuk UU atau peraturan harus didahului dengan induksi persepsional. Saya kira ini merupakan
pelajaran berharga bagi pemerintah dan semua pihak yang * berkepentingan.
Yang terakhir, film The Social Dilemma juga menyimpulkan bahwa kalau Anda sudah berhasil
mengubah persepsi melalui pemrograman psikosial, maka manusia tidak lebih dari sebuah
produk yang bisa Anda jual kepada siapa pun atau untuk kepentingan apa pun. Contoh paling
56