Page 78 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 5 FEBRUARI 2021
P. 78
DFW SOROTI KEMATIAN ABK WNI DI KAPAL IKAN TIONGKOK SEPANJANG 2020
Jakarta - Destructive Fishing Watch (DFW) menyoroti banyaknya kasus kematian Warga Negara
Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah kapal (ABK) di awak di kapal ikan berbendara
Tiongkok, sepanjang tahun 2020.
"Sepanjang tahun 2020, terdapat 22 orang Indonesia meninggal di kapal ikan berbendera
Tiongkok dan tiga di antaranya hilang di tengah laut dan sampai saat ini belum ditemukan," kata
Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Kamis.
Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu segera meningkatkan upaya perlindungan awak kapal
perikanan Indonesia yang bekerja di luar negeri, terutama kapal ikan berbendera Tiongkok.
Menurut Abdi Suhufan, awak kapal perikanan WNI yang meninggal mayoritas merupakan korban
kerja paksa dan perdagangan orang.
Ironisnya, masih menurut dia, proses hukum kepada pelaku dan ganti rugi berupa pemenuhan
hak-hak korban tidak pernah maksimal dilakukan.
Mereka yang meninggal, lanjutnya, rata-rata karena sakit, mengalami penyiksaan, kondisi kerja
yang tidak layak dan keterlambatan penanganan. "Fasilitas kesehatan di kapal Ikan Tiongkok
sangat buruk sehingga jika ada awak kapal yang sakit sering kali tidak mendapat perawatan
medis dan ketersediaan obat yang terbatas," kata Abdi Suhufan.
Korban awak kapal perikanan asal Indonesia tersebut mayoritas bekerja di kapal ikan Tiongkok
yang melakukan operasi penangkapan ikan di perairan internasional atau penangkap ikan jarak
jauh.
Pihaknya juga menemukan adanya praktik penyelundupan manusia yang terjadi kepada awak
kapal perikanan asal Indonesia. "Mereka yang sakit dan meninggal biasanya dipindahkan ke
kapal lain karena kapal tersebut tetap melanjutkan operasi penangkapan ikan," kata Abdi.
Abdi Suhufan juga menyampaikan bahwa pemenuhan hak-hak korban dan proses hukum
terhadap pelaku yang menyebabkan korban meninggal belum maksimal diberikan.
Sebelumnya, Anggota Komisi IV DPR Slamet minta pemerintah perlu lebih memaksimalkan
perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja sebagai ABK di luar negeri atau pada
kapal ikan asing.
Slamet menyoroti soal pemenuhan hak asasi manusia (HAM) bagi nelayan di Indonesia,
khususnya yang bekerja sebagai ABK di kapal asing.
Menurut Slamet, kelemahan perlindungan terhadap ABK Indonesia secara umum merupakan
dampak dari regulasi yang berlaku saat ini, yang dinilai masih bersifat parsial atau dengan kata
lain belum mengatur proses penempatan ABK asal Indonesia dari hulu ke hilir.
Untuk itu, ujar dia, sudah saatnya regulasi yang ada saat ini, yakni UU Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan UU Nomor 18
Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dicermati dengan seksama.
Selain itu, lanjutnya, ada juga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015
tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan. "Keberadaan tenaga
kerja Indonesia yang bekerja di atas kapal perikanan asing selama ini telah memberikan manfaat
yang banyak secara ekonomi," kata Slamet.
77