Page 172 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 5 NOVEMBER 2020
P. 172

negative - Asfinawati (Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)) Sudah cacat
              formil, harusnya (UU Ciptaker) gugur


              Ringkasan

              - Sorotan terhadap omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) kembali muncul. Sehari
              setelah diteken Presiden Joko Widodo dan diundangkan Menkum HAM Yasonna H. Laoly pada
              Senin (2/11), ditemukan banyak catatan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 itu. Baik dari sisi
              substansi maupun redaksi. Dari sisi redaksi, masih ada kekeliruan dalam naskah UU setebal 1.187
              halaman tersebut.



              SETNEG AKUI SALAH REDAKSIONAL, UU CIPTA KERJA TETAP BERLAKU

              - Sorotan terhadap omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) kembali muncul. Sehari
              setelah diteken Presiden Joko Widodo dan diundangkan Menkum HAM Yasonna H. Laoly pada
              Senin (2/11), ditemukan banyak catatan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 itu. Baik dari sisi
              substansi maupun redaksi.

              Dari sisi redaksi, masih ada kekeliruan dalam naskah UU setebal 1.187 halaman tersebut.
              Misalnya, pasal 6 di halaman 6 yang berbunyi peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan
              berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a. Pasal 5 yang menjadi rujukan
              tidak memiliki substansi yang dimaksud. Seharusnya, pasal 6 merujuk pada pasal 4 huruf a.

              Kesalahan juga muncul di bab XI tentang administrasi pemerintahan untuk mendukung cipta
              kerja. Tepatnya di halaman 757 yang berisi perubahan pasal 53 UU 30/2014 tentang Administrasi
              Pemerintahan.

              Bunyi ayat 5 adalah ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan  keputusan dan/atau
              tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
              dalam  perpres.  Padahal,  penetapan  keputusan  yang  dianggap  dikabulkan  secara  hukum
              disinggung di ayat (4). Artinya, rujukannya ada di ayat (4). Sementara itu, ayat (3) menyinggung
              soal permohonan yang diproses melalui sistem elektronik.
              Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana menyebutkan,
              dua  temuan  itu  baru  awal.  Tidak  tertutup  kemungkinan  ditemukan  kesalahan-kesalahan  lain
              yang secara teknis bisa memengaruhi substansi. "Kalau memantau, jangan-jangan akan lahir
              lagi dan ada temuan baru terus," ungkap Gita kepada Jawa Pos kemarin (3/11).

              Kesalahan redaksional seperti itu, kata dia, sebenarnya bukan barang baru. Sebelumnya, peneliti
              PSHK  pernah  menemukan  kasus  serupa  dalam  UU  32/2004  tentang  Pemda.  Pasal  yang
              bermasalah  itu  kemudian  dibawa  ke  Mahkamah  Konstitusi  untuk  dilakukan  uji  materi  dan
              akhirnya diperbaiki. "Yang mengerikannya di UU Ciptaker ini baru yang ketahuan sekarang dari
              1.187 pasal," lanjutnya.

              Menurut  Gita,  catatan  pada  dua pasal yang ditemukan  menunjukkan  bahwa  produk  legislasi
              tersebut  merupakan  buah  dari  penyusunan  yang  dipaksakan  dan  mengorbankan  prinsip
              transparansi. "Ini merupakan konsekuensi yang harus kita terima karena pembahasan yang ugal-
              ugalan tersebut," tegasnya.

              Hal yang bisa dilakukan pemerintah saat ini, menurut PSHK, adalah koreksi redaksional. Gita
              juga  mendorong  pemerintah  untuk  menunda  terlebih  dahulu  penerbitan  peraturan  turunan.


                                                           171
   167   168   169   170   171   172   173   174   175   176   177