Page 144 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2020
P. 144
Mereka menyebut pembahasan omnibus law Ciptaker sejak awal tak pernah memperhitungkan
kelompok atau penyandang disabilitas. Padahal, kata mereka, substansi UU Ciptaker sangat
berdampak terhadap kehidupan para penyandang disabilitas.
Mereka juga kecewa sebab usulan yang diajukan jaringan penyandang disabilitas untuk ikut serta
dalam pembahasan tidak diakomodasi pembuat undang-undang. "Usulan yang diajukan terbukti
tidak diakomodir dalam draf terakhir yang terpublikasi di masyarakat 1 hari sebelum Sidang
Paripurna DPR pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dilaksanakan," demikian pernyataan
mereka.
Selain itu, Jaringan tersebut menyebut UU Ciptaker juga tidak harmonis dan sinkron dengan UU
Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
UU Ciptaker pun disebutkan telah melakukan kejahatan epistemik dengan masih menyebut istilah
'cacat' bagi penyandang disabilitas. Paradigma cacat sejatinya bertentangan dengan gerakan
disabilitas yang selama ini mengusung cara pandang hak asasi manusia. "Merupakan bentuk
pengabaian dari ketentuan dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 yang
menyatakan bahwa, 'Istilah Penyandang Cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-
undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai
Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini'," demikian pernyataan
mereka.
Selain itu penggunaan istilah 'cacat', ujar Fajri, juga bertentangan dengan semangat yang
dibangun dalam konvensi hak penyandang disabilitas ( Convention on the Right of Person with
Disabilities ) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
Jaringan itu menyatakan UU Ciptaker juga telah menghapus Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 28
tahun 2002 tentang bangunan Gedung yang mengatur aksesibilitas bagi penyandang disabilitas
dan lanjut usia. Pasal tersebut merupakan bentuk perlindungan negara terhadap hak
penyandang disabilitas untuk mendapatkan kemudahan dalam akses.
"Bahkan Pasal itu sudah melahirkan peraturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2017 tentang Kemudahan Bangunan Gedung,
yang mengatur lebih rinci implementasi dari penyediaan aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas," demikian dikutip dari rilis.
Selain itu, mereka juga keberatan dengan UU Ciptaker yang tidak mencantumkan ketentuan
kuota 1 persen bagi perusahaan swasta dan 2 persen bagi BUMN/BUMD untuk mempekerjakan
penyandang disabilitas dari total seluruh karyawan. Menurut mereka, hal itu akan mengurangi
kesempatan penyandang disabilitas mengakses pasar kerja. "UU Cipta Kerja masih
menggunakan sehat "jasmani rohani" sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan atau
menempati jabatan tertentu, yang merupakan tindakan diskriminatif bagi penyandang
disabilitas," kata dia.
Dari total 51 organisasi yang tergabung dalam koalisi, beberapa dia antaranya adalah Komnas
Perempuan, PSHK, Perhimpunan Jiwa Sehat, Australia-Indonesia Disability Research and
Advocacy Network (AIDRAN), SAPDA, hingga Institute Inklusif Indonesia.
Selain menuntut Jokowi menerbitkan Perppu, mereka juga meminta pertanggungjawaban fraksi-
fraksi DPR yang menyetujui pengesahan RUU Ciptaker memberi penjelasan secara tertulis
mengenai pengabaian kelompok disabilitas dalam pembahasan yang dan tidak dicantumkannya
UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai Undang-Undang yang terkena
dampak.
(thr/kid).
143