Page 190 - Tere Liye - Bumi
P. 190

TereLiye “Bumi”   187




                         ”Perkenalkan, ini istriku, Vey, sedangkan si kecil, Ou. Nah, Ou, tiga

                  kakak­kakak ini namanya Raib, dengan rambut hitam panjangnya, indah
                  sekali, kan? Seli,  yang rambutnya pendek, dan satu lagi, Ali, yang
                  rambutnya berantakan.” Ilo mem­perkenalkan kami.

                         Ou terlihat riang.  Dia malah turun dari bangkunya, me­nyalami
                  kami bergantian.


                         ”Dia bilang apa? Kenapa dia melihat ke arah rambutku?” Ali
                  berbisik kepadaku.

                         Aku tertawa, sepertinya menyenangkan menjadi orang  yang lebih
                  tahu dibanding si genius ini—bisa membalas gayanya saat meremehkan
                  orang lain. ”Dia bilang rambutmu yang paling keren di antara semua
                  orang.”


                         ”Oh ya?” Ali nyengir, refleks menyisir lagi rambut be­rantakan­nya
                  dengan jemari.

                         ”Kakak si kecil namanya Ily. Seperti yang kubilang semalam,
                  usianya mungkin  dua atau tiga tahun di atas kalian. Saat ini dia
                  bersekolah di akademi yang jauh dari sini. Dia suka sekali de­ngan sistem
                  dan peralatan canggih. Dia bilang, sistem trans­portasi dan sistem lainnya
                  di kota ini ketinggalan zaman. Anak muda se­umuran dia selalu semangat
                  belajar,” Ilo menambahkan.


                         ”Ayo      anak­anak,        jangan      ragu­ragu,       silakan      dinikmati
                  makan­annya.” Vey tersenyum.


                         Kami mulai sarapan.

                         Entah berada di dunia apa pun, sarapan tetaplah sarapan yang
                  menyenangkan. Keluarga ini ramah. Ou sedang suka ber­celoteh. Vey
                  gesit dan tangkas membantu kami. Dan yang lebih penting lagi,
                  masakannya enak. Bahkan Ali yang se­lalu santai meng­hadapi dunia ini
                  tetap mengernyit saat pertama kali  melihat makanan di atas piring—
                  piringnya lebih mirip sepatu dengan lubang kaki yang besar. Masakannya
                  lebih aneh lagi, itu seperti bubur, tapi dengan warna gelap.










                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   185   186   187   188   189   190   191   192   193   194   195