Page 237 - Tere Liye - Bumi
P. 237

TereLiye “Bumi”   234




                         Seli menatap ke bawah, mengangkat tangannya.


                         Benar. Memang sarung tangan Seli yang me­ngeluarkan cahaya.


                         ”Mungkin kamu bisa membuatnya lebih terang,” aku memberi ide.

                         Seli mengangguk. Dia mengepalkan tinju tangan kanannya,
                  berkonsentrasi. Sekejap, sarung tangan itu bersinar  terang sekali,
                  membuat sudut­sudut gua terlihat.


                         Kami terdiam, saling pandang.

                         ”Ini keren.” Seli tersenyum, menatap tangannya.


                         Aku tertawa kecil, setuju.

                         Dengan bantuan cahaya sarung  tangan Seli kami bisa me­lewati
                  pelataran depan stasiun darurat dengan mudah. Gua itu  luas, sebesar
                  aula sekolah kami, lantainya meski kotor dipenuhi daun kering, terbuat
                  dari pualam mewah. Dindingnya dibiarkan berbatu alami.  Sedangkan di
                  langit­langit gua terlihat tiga lampu kristal—yang padam. Kami melangkah
                  masuk menuju peron. Ada dua kursi  panjang di dekat jalur rel. Selain
                  kursi itu tidak ada lagi isi stasiun. Tidak ada binatang buas yang

                  menjadikannya sarang.

                         Ilo mencari panel  di dinding, menekan beberapa tombol, yang
                  kemudian berkedip menyala.  Ilo menghela napas lega. ”Syukur­lah,
                  stasiun ini masih berfungsi. Lima menit lagi salah satu  kapsul kereta
                  akan datang.”


                         Itu kabar baik. Masih lima menit lagi, aku memutuskan  duduk,
                  diikuti Seli. Ali tetap berdiri dua langkah dari kursi. De­ngan cahaya dari
                  sarung tangan Seli, aku bisa melihat jelas wajah Ali yang terlihat sedang
                  berpikir keras—wajah si genius ini me­mang selalu kusut.

                         ”Kamu sepertinya masih kecewa tidak diberi sarung tangan keren
                  oleh Av tadi,” aku berkata pelan, mencoba membuat situ­asi lebih rileks,
                  tertawa kecil.


                         Ali melotot. Ekspresi wajahnya yang berpikir semakin terlipat.
                  ”Bukan itu yang kupikirkan.”





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   232   233   234   235   236   237   238   239   240   241   242