Page 240 - Tere Liye - Bumi
P. 240

TereLiye “Bumi”   237




                  ”Jangan­jangan mereka juga bukan orangtuaku, kan? Aku berasal dari

                  dunia lain, Klan Matahari itu?”

                         Aduh! Aku menatap wajah cemas Seli.  Aku mengeluh dalam hati,
                  kenapa semuanya jadi rumit begini? Kenapa jadinya Seli berpikiran sama?
                  Aku menggeleng, tidak mungkin. Hanya aku tadi yang dibilang begitu, Av
                  tidak pernah menyinggung orang­tua Seli. Lihatlah, wajah Seli jadi sedih.
                  Bagaimana ini? Aku kan tidak seperti Av, yang hanya dengan menyentuh
                  lengan bisa me­ngirimkan rasa hangat dan fokus dalam hati.


                         ”Mungkin saja mereka memang orangtuamu, Sel,” Ali yang lebih
                  dulu berkomentar. ”Orang berbaju abu­abu itu bilang, saat pertempuran
                  besar dulu, ada sebagian penduduk Klan Matahari terpaksa mengungsi,
                  melintas ke dunia lain. Mungkin orangtua­mu memang dari sana, lalu
                  tinggal di Bumi.”

                         ”Tapi aku tidak pernah melihat mereka mengeluarkan petir. Papaku
                  karyawan kantoran, dan mamaku dokter. Aku juga tidak pernah melihat
                  mereka bisa menggerakkan benda dari jauh, mengambil gelas pun tidak

                  bisa.” Seli menggeleng, menyeka ujung matanya.

                         ”Mungkin mereka  menyimpan rahasia itu. Termasuk dari dirimu.
                  Siapa pula yang ingin diketahui seluruh dunia memiliki kekuatan itu?” Ali
                  mengangkat bahu.

                         ”Ali boleh jadi benar, Sel,” aku menyemangati. ”Masuk akal, kan?

                  Jadi jangan pikirkan yang tidak­tidak. Aku sudah bilang sejak tadi
                  malam, kita tidak boleh cemas atas hal­hal yang belum jelas. Khawatir
                  atas sesuatu yang  masih dugaan saja. Kita berada di dunia lain. Kamu
                  harus kuat, agar aku juga ikut kuat, Sel.”

                         Seli menunduk. Cahaya dari sarung tangannya meredup, nyaris
                  padam karena suasana hatinya buruk, membuat gua jadi remang. Ilo
                  memperhatikan. Dia tidak mengerti apa yang sedang kami bicarakan.


                         Aku memeluk bahu Seli erat­erat. Setidaknya, apa pun
                  pen­jelasannya besok lusa, apa pun yang akan terjadi nanti, aku
                  me­miliki teman baik di dunia aneh ini. Seli teman terbaikku sejak kelas
                  sepuluh, teman satu kelas, satu meja. Ditambah dengan Ali yang berdiri
                  di hadapan kami, dia juga teman baik sejak 24 jam lalu.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244   245