Page 236 - Tere Liye - Bumi
P. 236

TereLiye “Bumi”   233




                         Kami berjalan lagi  setelah Ilo memastikan harus menuju  ke arah

                  mana. Seratus meter melewati padang bunga, di lereng terjal, terlihat
                  gagah sebuah mulut gua yang besar dan gelap.

                         Aku menoleh kepada Ilo. Apakah dia tidak salah?


                         ”Gua     ini    memang       stasiun     daruratnya.”      Ilo    mengangguk,
                  me­mati­kan peralatan di pergelangan tangannya. ”Setiap jarak ter­tentu,
                  kapsul kereta bawah tanah didesain memiliki lorong darurat ke
                  permukaan. Itu berguna jika terjadi sesuatu, seperti banjir, kerusakan
                  listrik, atau kebakaran di kota bawah tanah, penduduk bisa segera
                  dievakuasi. Mungkin karena jarang diguna­kan, stasiun ini seperti gua
                  tidak terawat. Kita harus masuk ke dalam gua, berjalan beberapa puluh
                  meter lagi untuk tiba di peron.”

                         Kami berdiri di depan mulut gua, saling pandang. Ada tangga
                  pualam menuju ke bawah, seperti pelataran stasiun. Tapi gua ini berbeda
                  dengan lubang kecil yang kami panjat sebelumnya, ada titik cahaya yang
                  dituju. Gua ini gelap total, dan sebaliknya kami justru harus masuk ke

                  dalamnya. Bagaimana kami tahu arah yang tepat?

                         Ilo melangkah ragu­ragu. Kami mengikuti. Baru tiga  langkah
                  masuk, Ilo berhenti. Gelap sekali, tidak terlihat apa pun di dalam sana.

                         ”Bagaimana kalau ada binatang buas menunggu?” aku  berkata
                  pelan.


                         Ilo menghela napas, tegang.


                         Atau stasiun ini runtuh? Ada lubang  besar di pualamnya? Kami
                  tidak bisa melihatnya. Aku  menyikut lengan Ali. Si genius ini mungkin
                  saja punya ide cerdas bagaimana  cara kami bisa berjalan dalam
                  kegelapan. Ali justru sedang memperhatikan Seli di se­belahnya lagi.




                         Dalam kegelapan, entah apa penyebabnya, tangan Seli  terlihat
                  menyala redup.

                         ”Sarung tanganmu mengeluarkan cahaya, Seli,” aku berbisik.







                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   231   232   233   234   235   236   237   238   239   240   241