Page 187 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 187
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
syahadat Fatimah yang lebih penting. Yayi, masukkan dalam hati; (24)
Jangan dianggap sederhana itu, Yayi, wajib membaca asyhaduanla,
ilahailallah, saya sungguh-sungguh bersaksi, tidak ada Pangeran dua,
tetapi Allah Yang Maha Tunggal, menjadikan seluruh alam, wa asyhadu
anna Fatimah tin jokril karimi imra atal; (25) Nubuwatin binti Muhammad,
salalahu alaihi wasalam. Saya bersaksi, sesungguhnya, Dewi Fatimah itu,
bintang kejora yang mulia, yang menjadi ratu merlaemerlang, para wanita,
yang bersiabi kita, Muhammadinil salalahu alaihi wasaalam ngalaika.
Ada pengatahuan baru yaitu syahadad Fatimah bagi para perempuan.
Seh Amongraga merasa perlu harus mengajarkan syahadat kepada
isterinya. Niken Tambangraras yang memang sudah hafal bacaan itu,
merasa lebih jelas ketika diajarkan oleh suaminya. Kutipannya sebagai
berikut: Tambangraras tyasira mranani katanéman wuwulanging raka,
sumilak padhang driyane, ing surup pan wus kayup*), datan ana ingkang
kaémpit, dhasar wus ahlirina, brangti maring ngelmu, ing mangke wah
angsal wulang, langkung, sanggém agémi marang agami, ngugémi reh
kang tama (Tambangraras hatinya senang, ditanamkan pelajaran oleh
suaminya, terbuka jelas hatinya sudah tahu dan sudah koyup, tidak ada
yang terselip. Karena memang sudah hafal, rindu pada ilmu, kemudian
mendapat ajaran. Semakin mendalam dalam agama, memagang teguh
sesuatu yang utama).
Ni Centini, abdi perempuan kesayangan Niken Tambangraras, ikut mendengarkan
ajaran Seh Amongraga di kamar pengantin pada malam pengantin itu. Hal
tersebut terlihat dalam kutipan sebagai berikut: “Centini mepet mendengarkan,
menunduk di pinggiran ranjang bersandar, rebahan melemah, karena selama
itu mencatat sepenangkapannya, ada yang tertangkap dan tidak, banyak
yang didapatkan. Mencari berkah semampunya. Ketika yang di dalam seperti
menangis, Centini juga menitikkan air mata”. Karena Ni Centini, sekalipun dia
hanya abdi, ikut mendengarkan ajaran-ajaran Seh Amongraga, maka kitab ini
disebut dengan Serat Centhini. Dalam transliterasi naskah koleksi Balai Kajian
Jarahnitra, Yogyakarta, Kamajaya menuliskannya sebagai Serat Centhini, Suluk
Tambangraras.
75
Dalam terjemahan yang diterbitkan Balai Pustaka, Darusuprapta (1992)
menuliskan judul Centhini Tambangraras-Amongraga. Jayengraga, adik Seh
Amongraga, mengimami salat Subuh. Setelah mandi jinabat usai bercinta
dengan Jayengraga, pemuda gemblak Senu dan Surat mengumandangkan
azan subuh. Jayengraga mengimami salat Subuh. Dilukiskan : Surat dan Senu di
tajug azan Subuh, suaranya merdu, lagu Bantenan mendayu, assalatu khairum
minna naum mengumandang. Setelah azan semuanya sunat, para santri
yang salat: orang dewasa dan santri kecil. Jayengraga sudah sunan kemudian
memerintahkan ikamah. Setelah ikamah Jayengraga mengucapkan niat, ushalli
fardal Subkhi rakataini adaan ima-man lillahi taala. Kemudian Allahu akbar
173