Page 241 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 241
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
merasa tidak dirindukan oleh orang sekampungnya, Sunur, bahkan juga
oleh anak perempuannya. Ia, sang penyair, secara batin sangat menderita.
Kerinduannya pada anak perempuannya menambah penderitaan batinnya .
Wahai anak hendaklah syukur
Masuk termimpi masaku tidur
Siang di Tarumun malam di Sunur
Rangkai hatiku rasakan hancur
Tersentak ayah pada tengah malam
Bulan pun terang cuaca alam
Tampaklah gunung jeram-menjeram
Hati yang rindu remuk di dalam
Bangunlah ayah daripada tidur
Bangkit sekali duduk terpekur
Terdengar ombak berdebur
Tidaklah obah rasa di Sunur
Jikalau ayahanda menjadi bayan
Lengkap jo sayap kedua tangan
Ayahanda terbang menyisi awan
Menjelang Sunur kampung halaman 39
Syair-syair Minangkabau, pada umumnya, merupakan karya para ulama. Selain
nama-nama ulama yang telah disebutkan di atas, ulama-ulama lain yang
menulis syair ialah Syeikh Sulaiman al-Rasuli (Syair Syeikh Muhammad Taher
Jalaluddin al-Falaki, Syair Yusuf dan Salehan); Haka (Syair Muhallil); Syeikh Chatib
Muhammad Ali al-Padani (Syair Burhanul Haq); dan Labai Sidi Rajo Sungai Puar
(Syair Nahu, Syair Nabi Bercukur, dan Nazam Kanak-kanak (Yunus, 1999:
40
27). Para ulama penyair tersebut, pada umumnya, berasal dari dua kelompok
keagamaan yang berpolemik, yakni Kaum Tua (kaum Tradisionalis) dan Kaum
Muda (Kaum Modernis). Sejumlah syair atau nazam tersebut merupakan karya
41
pendamping terhadap beberapa naskah (buku) yang mereka tulis berkenaan
dengan polemik keislaman antara Kaum Tua ,yang penganut tarekat, dan Kaum
Muda, yang skeptis terhadap tarekat dan bahkan juga antar-penganut tarekat
sendiri . Salah satu persoalan yang mengundang polemik antara Kaum Tua dan
42
Kaum Muda adalah mengenai masalah pengucapan niat (ushalli) dengan keras
(jahar) atau tidak keras (sir) sebelum salat didirikan. Hal itu, misalnya, tergambar
dalam syair berjudul Thalabus Shalat karya Syeikh Bayang.
43
227