Page 286 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 286
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
tampak bahwa Mustapa mengetahui banyak tentang ajaran Shattariyah dan
martabat tujuh, tidak saja dari sejumlah guru yang ditemuinya terutama di
Mekah, tetapi juga melalui sejumlah naskah yang ditemukannya.
Kedekatan Mustapa dengan Snouck tidak dapat diabaikan karena sangat
berpengaruh terhadap perjalanan hidup Mustapa sebagai seorang elite
pribumi (hoofd penghulu) di Aceh dan Bandung. Sebaliknya, bagi Snouck ia
menjadi salah satu tokoh kunci yang membuka informasi untuk memperoleh
pengetahuan tentang Islam lokal termasuk dunia tarekat. Kontak pribadinya
82
sekali lagi membuka mata Snouck tentang para pelaku tarekat dan memberinya
Kumpulan surat C. Snouck alasan untuk berpikir ulang, atau paling tidak untuk memperlembut dugaan dia
Hurgronje kepada Ignaz sebelumnya tentang 'bahaya' tarekat di masyarakat terutama pasca peristiwa
Goldzheer, seorang orientalis Cilegon 1888 atau yang dikenal sebagai pemberontakan 'petani Banten'.
83
terkenal di dunia. Buku berjudul
Scholarship and friendship in Snouck sendiri akhirnya mengaku pernah dibaiat dalam tarekat. Karyanya De
early islamwissenschaft masih Atjehers (1893) seakan mengembalikan jejak silsilah tarekat Shattariyah yang
menjadi rujukan tentang studi ditemuinya di Jawa Barat sampai kepada 'Abdurrauf. 84
Islam hingga tahun 1970.
Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Mustapa merupakan salah satu informan pribumi
bagi Snouck yang memberi kemudahan tertentu
untuk masuk ke sisi terdalam Islam dan Muslim di
Hindia Belanda. Mustapa masuk ke dalam lingkaran
85
strategi Snouck yang menjadikan aristokrasi pribumi
sebagai kelas sosial pertama yang ditarik ke dalam
lingkaran kolonial. Ia adalah model perpaduan
antara pribadi santri dan kaum ménak yang
mengalami kolonisasi. Mustapa adalah kelanjutan
dari "Musa" lain, dan Snouck adalah "Holle" lain.
86
Dengan latar belakang ménak dan santri, Mustapa
menjadi pemimpin pribumi potensial yang dicari
Belanda untuk mengisi kantor penghulu. Ia menjadi
elite penghulu Priangan sekaligus masuk ke dalam
lingkaran kaum ménak dan pada gilirannya lingkaran
kolonial. 87
Posisi Mustapa cenderung berbeda dengan ulama
pesantren yang tetap menjadi kelompok independen
dan berada di luar sistem kekuasaan kolonial. Sebuah
88
"kesenjangan" yang terbentuk antara kaum ménak
dan ulama pesantren sebagai dampak kebijakan
kolonial dan secara tidak langsung berpengaruh
pada perbedaan orientasi budaya. Mustapa mewakili
sosok ménak yang sangat kuat bergumul dengan
aktifitas sastra dan budaya Sunda. Sementara ulama
272