Page 83 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 83
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
seluruh pelosok Nusantara. Sebelum fasih berbahasa Arab dan mahir membaca
teks-teks berbahasa Arab dan Persia, pelajar-pelajar Muslim terlebih dahulu
harus fasih dan menguasai bahasa Melayu. Dengan begitu mereka dapat
mempelajari seluk beluk agama Islam dan berbagai cabang ilmu Islam yang
pokok. Faktor yang tak kalah penting dapat dicermati dari corak agama Islam
yang dikembangkan para elit Muslim sejak permulaan agama ini disebarkan.
Agama Islam di Nusantara pada abad ke-14 – 18 M menekankan penyebaran
ilmu kepada semua penganutnya. Ini memungkinkan berkembangnya cara
berpikir yang berbeda dari sebelumnya, yang dibuktikan dengan kenyataan
bahwa kerajaan-kerajaan Islam seperti kesultanan Samudra Pasai (1270-1516
M), kesultanan Malaka (1400-1511 M), Aceh Darussalam (1516-1700 M), dan
juga kesultanan Palembang, Johor Riau dan lain-lain pada abad ke-18 dan 19 M,
bukan saja merupakan pusat perdagangan dan politik, melainkan juga sebagai
pusat ilmu, kegiatan intelektual dan kebudayaan. 3
Islam memberi kontribusi yang besar bagi pertumbuhan Sastra Melayu Islam
hadir di tengah penduduk Melayu sebagai agama populis dan egaliter. Islam
juga merupakan agama kitab, yang mewajibkan para pemeluknya agar dapat
menulis dan membaca sehingga dapat mempelajari kitab suci dan kitab-
kitab pelajaran agama. Keharusan ini mendorong pemeluk Islam mempelajari
bahasa Arab dan juga bahasa Melayu dengan aksara Arab atau Jawi sebagai
wahananya. Hadirnya para sufi dalam kegiatan penyebaran agama menambah
marak dunia penulisan kitab keagamaan dan sastra. Sejak abad ke-13 M,
khususnya sesudah hancurnya kekhalifatan Baghdad oleh serbuan bangsa
Mongol pada tahun 1256 M, para sufi memainkan peranan penting dalam
penyebaran Islam khususnya di anak benua India dan Nusantara. Mereka pada
Masjid Syahabuddin adalah
peninggalan Kerajaan Siak Sri
Indrapura, Riau. Kehadiran
Kerajaan Islam bukan saja
merupakan pusat perdagangan
dan politik, melainkan juga
sebagai pusat ilmu, kegiatan
intelektual dan kebudayaan.
Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
69