Page 58 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 58
13
belajar yang ada di sekitarnya. Di sisi lain masyarakat akan berusaha mempertahankan dan
mengembangkan tradisi lisan yang ada di lingkungannya, termasuk upaya masyarakat
melakukan interpretasi nilai-nilai yang ada dalam tradisi lisan, sehingga dapat
disosialisasikan kepada generasi muda di lingkungannya dalam berbagai momen yang ada.
Satu contoh bentuk integrasi tradisi lisan Komunitas Bahari (Komunitas Bugis-
Makassar) dilakukan oleh (Asban, 2016) dalam bentuk uji coba melalui Penelitian Tindakan
Kelas. Perbaikan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan tradisi lisan dalam
pembelajaran pada materi: Jenis-jenis Manusia Purba dan Hasil Kebudayaannya. Pada
pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan menarik perhatian siswa saat membuka pelajaran.
Dalam konteks ini guru menggunakan Metode Tugas dan Metode Tanya Jawab: Minggu
sebelumnya guru telah memberikan tugas observasi dan wawancara kepada tokoh masyarakat
Bugis-Makassar tentang tradisi lisan yang terkait dengan falsafah hidup Orang Bugis-
Makassar yang dituangkan dalam tugas kelompok, dipadukan dengan materi umum yang ada
dalam buku pegangan siswa. Pembelajaran minggu ini, Guru menanyakan kembali mengenai
tugas kelompok yang akan didiskusikan. Sebelum pembelajaran dimulai, guru terlebih
dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran dan sedikit memberikan gambaran mengenai
pendekatan pembelajaran yang menggunakan tradisi lisan. Kemudian guru memberikan
pengantar mengenai pelajaran yang akan diberikan dengan membacakan falsafah hidup
Komunitas Bugis-Makassar, yaitu:
1. Naiya tau malempuu-e’ manguruu eloo-i’ tau sugi-e (orang jujur sewarisan dengan orang
kaya). Maknanya : orang jujur tidak sulit memperoleh kepercayaan dari orang kaya
karena kejujurannya.
2. Rebba sipatokkong, mali' siparappe', sirui' menre' tessirui'no', malilu sipakainge' (Rebah
saling menegakkan, hanyut saling menarik ke pinggir pantai, jika khilaf saling
mengingatkan).
3. Naiya acca ripatoppokie’ je’kko, rirapangngi alliiri; nare’kko te’yai mareddu’, mapooloi
(kepandaian yang desertai ketidak-jujuran ibarat tiang rumah, jika tidak tercabut ia akan
patah).
4. Temmettak nawa-nawa majaa’
Tammassuk ada-ada belle
Teppugauk-gauk maceko
Tidak pernah berpikiran jahat
Tidak mengeluarkan kata-kata dusta
Tidak melakukan perbutan curang
5. Ka-antu jekkonga kammai batu nibuanga naung rilikuo’ na-antu lombusuka kammai bulo
ammawanga ri je’ne’ka, nuossakaugi poko’na ammumbai appa’na, nuassakaugi appa’na
ammumbai poko’na (kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke dalam lubang;
sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, jika ditekan pangkalnya, maka
ujungnya akan timbul, dan jika ditekan ujungnya, maka pangkalnya akan timbul).
Setelah melihat siswa telah siap untuk memulai pembelajaran, kemudian guru
membagi kelompok dan mempersilahkan siswa untuk duduk berdasarkan kelompoknya. Guru
mempersilahkan kelompok pertama untuk tampil di depan kelas mempresentasikan hasil
observasi yang dilakukan bersama kelompoknya selama 10 menit, selanjutnya ditanggapi dan
kemudian dilanjutkan kelompok berikutnya secara berturut-turut. Pada akhir pembelajaran
guru mengajak siswa untuk memberikan kesimpulan atas pembelajaran yang dilakukan
kemudian guru memberikan kesimpulan akhir. Kemudian guru mengakhiri pembelajaran
dengan kembali memberikan motivasi kepada siswa dan mengingatkan kelompok berikutnya
agar dapat lebih baik dalam mempresentasikan hasil observasinya.
Hasil penelitian di atas menyimpulkan bahwa: (1) Penerapan metode diskusi dengan
menggunakan tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah pada siswa kelas X.5 SMAN 03