Page 53 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 53
8
Setelah dia sampai ke Kampung, masih jauh dia sudah mengambil Gendang kemudian
memukulnya. Datang lah orang-orang di kampung, berkumpul di ujung jembatang, kemudian
dia berteriak, juragan jangan ribut, siapa tahu ada anak Datu (Raja). Kemudian dia keluar
(dari kapal), kemudian dia berdiri di tiang layar, kemudian berteriak ke kampung.
Katanya kami datang ke kampung kami. setelah sandar ke ujung jembatan, dia
(Nahkoda Asang) menanyakan Mamanya. Katanya, hai Mama, Di mana Adikku, Sitti
Rugayya. Ibunya menjawab Sitti Rugaiyya sudah di bawa oleh Belanda ke negeri Belanda.
Pada hari itu katanya, celaka apa kah ini yang terjadi pada diriku tidak Bapakku (uwa
ku) saya dapatkan, bukan juga adikku. Setelah dia menangis dia mempersiapkan dirinya
(akan berangkat).
Kemudian dia (Nahkoda Asang) turun ke Perahunya, melompatlah Mbo Panai,
Katanya Anakku Nahkoda Asang, bawa saya, saya tahu kau sakit hati, sehingga mau
pergi berperang ke negeri Belanda.
Masih jauh, dia sudah melihat Kapal Belanda, menghadang di depannya. Kemudia
mereka mengambil Meriam dan menyerang kapal Belanda, tidak lama Kapal itu tenggelam.
Iko-iko tersebut menggambarkan sikap patriotisme dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat keluarga dan bangsa, melawan kejahatan penjajah Belanda.
Berikut contoh nauya (nyanyian Bajo) yang menggambarkan pendidikan kebaharian:
Ella-ella, tidorko daha nandole
Batongko daha nanges
Batongko daha dinanges uwan’nu pore sakai ka Papua
Barah dibunang umor taha, nia dalle’na
Barah dibunangko umor taha mubasar nusakai daruwa uwa’nu.
Hai bunga tidurlah jangan ingat-ingat yang lain
Bangunlah jangan menangis
Bangunlah jangan engkau menangis bapakmu pergi berlayar jauh ke Papua
Mudah-mudahan dia diberi umur panjang dan banyak rezekinya
Mudah-mudahan engkau diberi umur panjang dan besar, engkau berlayar
seperti bapakmu.
Masyarakat bahari lainnya adalah Bugis-Makassar yang memiliki berbagai ungkapan
lisan menggambarkan kegemaran dan keberanian mengarungi lautan, yaitu: Pura babbara’
sompe’ku, pura tangkisi gulikku, ulebbirennni tellengnge natowalie (Jika layar sudah
terkembang, kemudi sudah terpasang, lebih baik tenggelam dari pada surut langkah/kembali
(Machmud, 1976). Dalam ungkapan sejenis dinyatakan bahwa: Sompen’ni tapada sompe’
tapada mammenanga tasiallabuang (Marilah kita berlayar bersama-sama untuk menuju suatu
tujuan). Ungkapan serupa berbunyi Teegi-teegi sore lopie, koni taro sengereng (dimana saja
perahu berlabuh di situlah kita menanam/menyimpan kenangan). Artinya, bagi Orang Bugis
Makassar merantau ke negeri orang merupakan suatu yang biasa, dan negeri rantauan
dianggan negerinya sendiri, sehingga dia berusaha menanam/menyimpan kenangan,
menanam budi baik atau membangun wilayah di mana ia bermukim, mereka cenderung
menetap di daerah perantauan. Perantau Bugis-Makassar harus mampu bersosialisasi dan
beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia harus mau menerima dan toleransi dengan budaya
setempat, setelah ia mampu menyakinkan masyarakat setempat untuk menerimanya sebagai