Page 51 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 51

6


               cukup  hanya  menjadi  pengajar,  tetapi  juga  harus  menjadi  peneliti  untuk  menggali  sejarah
               lokal  yang  masih  berserakan  dalam  bentuk  tradisi  lisan  untuk  selanjutnya  diintegrasikan
               dalam pembelajaran.

               C. Tradisi Lisan dalam Komunitas Bahari
                     Komunitas  Bahari  di  Kawasan  Timur  Indonesia,  seperti:  Komunitas  Buton,  Bajo,
               Bugis-Makassar  dan  Mandar  masih  tetap  mempertahankan  semboyang  Nenek  Moyangku
               Seorang Pelaut. Mereka memiliki tradisi lisan yang masih hidup sampai saat ini, dan tradisi
               lisan  tersebut  memiliki  muatan  edukatif  dan  normatif  yang  masih  relevan  dikembangkan
               dalam era sekarang ini.
                     Bagi  Masyarakat  Buton,  konsep  masyarakat  bahari  diformalkan  dalam  struktur
               pemerintahan  Kesultanan  Buton,  karena  terdapat  jabatan  Kapilao  Matanyo  dan  Kapitalao
               Sukanayo  (Panglima  Angkatan  Laut  Timur  dan  Panglima  Angkatan  Laut  Barat)  (Hafid,
               2012).
                     Masyarakat Buton di Wakatobi mengenal tradisi po asa-asa (bersatu) dan po hamba-
               hamba  (bantu-membantu).  Tradisi  persatuan  dan  tolong-menolong  ini  dibangun  di  atas
               landasan filosofi mai to assae na hada, ara no assamona hada mou te bumbu no dete (mari
               kita satukan kehendak, jika kehendak sudah menyatu, maka bukit pun akan menjadi rata).
               Tradisi ini diimplementasikan dalam pelayaran yang tercermin dalam konsep asa rope (satu
               perahu),  mate  asa-asa  tumbu  asa-asa  (mati  sama-sama,  hidup  sama-sama)  yang  dipegang
               teguh dalam kondisi perahu terancam bahaya, misalnya: ancaman badai dan karam. Konsep
               lain  adalah  porambanga  (berlayar  bergandengan)  artinya  beberapa  perahu  meninggalkan
               pelabuhan secara bersama-sama dengan satu tujuan (Ali-Hadara, 2015).
                     Tradisi lisan dalam bentuk gangguan Sanggila (bajak laut) dari di Wilayah Wakatobi-
               Buton  terdapat  dua  kelompok  sanggila,  yaitu:  (1)  Sanggila  Mangindanao/Manginda/
               Mindanao dari Philipina Selatan, (2) Sanggila Tobelo dari Maluku Utara (Lapian, 2009; Ali-
               Hadara,  2015).  Pertarungan  antara  sesama  sanggila  sering  terjadi  yang  disebut  kapala  nu
               sanggila  (kepalanya  bajak  laut)  artinya  pertarungan  satu  lawan  satu  dan  bagi  yang  kalah
               kepalanya dipenggal kemudian dibiarkan begitu saja. Salah seorang pemimpin sanggila  yang
               terkenal bernama La Bolontio, kemudian tewas di tangan pasukan Buton yang dipimpin oleh
               La Kilaponto dan para pengikutnya yang selamat melarikan diri. Kehadiran para sanggila di
               wilayah  perairan  Wakatobi  mendapat  perlawanan  dari  masyarakat  yang  dipimpin  oleh  La
               Mainaka.
                     Cerita  tersebut  mengandung  nilai-nilai  persatuan,  tolong-menolong,  dan  semangat
               patriotisme  yang  perlu  diwarisi  oleh  generasi  muda,  sehingga  dipandang  perlu  untuk
               dipelajari lebih awal melalui pendidikan formal sejak SD.
                     Tradisi lisan masyarakat Buton yang memuat aspek religius terungkap dalam Kabanti
               Ajonga Yinda Malusa yang menyatakan bahwa pada zaman pemerintahan Sangia Ncili-Ncili
               (Sultan  Zainuddin  La  Tumpamana  1681-1689)  setiap  hari  jum‟at  Sultan  Ternate
               mengharuskan  semua  pembesar  Buton  melakukan  shalat  jum‟at  di  Ternate.  Ketika  azan
               terdengar,  mereka  masih  dalam  perjalanan  dan  dapat  pergi  pulang  dari  Buton  ke  Ternate
               dengan  perahunya.  Selanjutnya  dalam  versi  lain  dinyatakan  bahwa  Sultan  Zainuddin  (La
               Tumpamana)    yang  selalu  shalat  jum‟at  di  Ternate  yang  berangkat  ke  Ternate  dengan
               menggunakan perahu Wasilomata (sekejap mata) (Ihsan, 2015).
                     Seiring dengan perkembangan pelayaran niaga di Nusantara pada abad XVII, maka di
               setiap pelabuhan ditempatkan perwakilan (Syahbandar), pemangku jabatan ini harus makhir
               berbahasa  Melayu  dan  bahasa  daerah  setempat  sebagai  alat  diplomasi.  Dari  sinilah  peran
               pelayar  niaga  Buton,  Bajo,  Bugis-Makassar,  dan  Mandar  (BBBMM)  dalam
               mentrasformasikan pemakaian Bahasa dan Sastra Melayu di wilayah-wilayah kerajaan pesisir
               pantai Nusantara dan Asia Tenggara. Sejak abad XVII pelabuhan Makassar menjadi tempat
   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56