Page 47 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 47
2
A. Pendahuluan
Letak geografis dan keadaan alam Indonesia terutama di Kawasan Timur Nusantara
yang terdiri atas gugusan pulau, menyebabkan masyarakatnya sebagian hidup dari laut baik
sebagai nelayan maupun sebagai pelayar niaga. Masyarakat yang bermukim di wilayah
pesisir dan pulau-pulau seperti Komunis Buton, Bajo, Bugis-Makassar dan Mandar
merupakan masyarakat maritim dan secara turun-temurun telah mewariskan kearifan
berlayar, menangkap ikan, dan berdagang kepada anak cucunya melalui tradisi lisan dalam
bentuk: cerita rakyat, pantun, lagu, dan ungkapan filosofi hidup. Mereka mengembangan
learning community (pendidikan informal dan pendidikan nonformal) dengan bahan belajar
dikemas dalam tradisi lisan sekaligus langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga memudahkan peserta didik (anak/keluarga, dan sawi) untuk mengadopsinya. Output
pembelajaran ini dipandang cukup efektif karena berhasil menempatkan Indonesia sebagai
masyarakat maritim yang disegani di dunia karena mereka berhasil mengarungi laut dan
samedera yang luas.
Seiring dengan berkembangnya sistem pendidikan formal dalam lingkungan komunitas
maritim ini, maka muatan kearifan lokal dalam dimensi kemaritiman pada pendidikan
informal dan nonformal mengalami penurunan. Pendidikan formal yang diharapkan dapat
lebih mengembangkan nilai-nilai karakter positif dari kearifan lokal belum mampu untuk
mentransfer dalam pembelajaran termasuk dalam bentuk integrasi sekalipun, sehingga anak-
anak dari komunitas maritim seakan mereka tercabut dari akar budayanya yang kemudian
berdampak terhadap menurunnya sikap dan minat kebaharian masyarakat Indonesia termasuk
anak dari komunitas bahari.
Mencermati fenomena tersebut, maka pendidikan formal harus mampu mengakomodir
nilai-nilai lokal tersebut yang masih berserakan dalam bentuk tradisi lisan dari berbagai
jenisnya. Artinya perlu mengakomodir kebutuhan lokal yang ada di sekitar peserta didik.
Upaya mengakomodir kebutuhan lokal tersebut, maka Kemendikbud mengeluarkan Permen
No. 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013 Pasal 1 menyatakan bahwa
muatan lokal adalah bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi
muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal.
Pasal 2 (1) Muatan lokal merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan
pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal
yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan
kearifan di daerah tempat tinggalnya. (2) Muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang diperlukan untuk: (a) mengenal dan mencintai lingkungan alam, sosial,
budaya, dan spiritual di daerahnya; dan (b) melestarikan dan mengembangkan keunggulan
dan kearifan daerah yang berguna bagi diri dan lingkungannya dalam rangka menunjang
pembangunan nasional.
Muatan lokal dapat berupa: seni budaya, prakarya, pendidikan jasmani, olahraga, dan
kesehatan, bahasa, dan/atau teknologi. Muatan pembelajaran terkait muatan lokal berupa
bahan kajian terhadap keunggulan dan kearifan daerah tempat tinggalnya, dapat
diintegrasikan antara lain dalam mata pelajaran tertentu. Dalam konteks ini muatan lokal
tradisi lisan, selain dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran: seni budaya, prakarya,
pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, juga diintegrasikan dalam Mata Pelajaran IPS
SD/SMP atau Sejarah di SMA/MA/SMK.
Salah satu kearifan dan keuanggulan lokal yang tersimpan dalam bentuk tradisi lisan
adalah dimensi kebaharian dalam arti luas. Dalam konteks ini telah berjalan sepanjang
sejarah yang terungkap dalam pernyataan “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, akan tetapi
akhir-akhir ini cenderung mengalami kemunduran.