Page 42 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 42

sebelumnya.  Bila  kita  menggunakan  kata  “pendidikan  yang  berakar  pada
                        kebudayaan” maka yang dimaksudkan ialah bahwa pendidikan harus melayani upaya
                        pencerdasan  kehidapan  bangsa  dengan  mengesktrak  nilai-nilai  terbaik  dari  budaya
                        bangsa, yang sudah tahan uji dalam perjalanan sejarah ketika menghadapi tantangan
                        zaman,  kesengsaraan,  mulai  dari  tirani  sampai  ke  kolonilaisme-imperialisme  atau
                        rintangan lainnya, seperti pengaruh buruk budaya global, kosumerisme dan budaya
                        materialistik.  Dalam  kondisi  seperti  itu  bangsa  kita  terombang-ambing  kehilangan
                        identitas. Sesunguhnya tidak ada cara lain untuk mengenali identitas, baik individual
                        maupun kolektif (bangsa) kecuali lewat sejarah dan budaya. Kebudayaan mesetinya
                        bukan  subsistem  pembangunan,  melainkan  fondasi  seluruh  pembangunan.  Namun
                        karena  miskin  pengertian  budaya  atau  kebudayaan  sebagai  komponen  peradaban,
                        maka  kebudayaan  sejauh  ini  dilihat  sebagai  sub-sistem  dalam  pendididikan  dan
                        dengan  demikian  juga  dalam  pembangunan  bangsa.  Budaya  membaca,  budaya
                        akademik, budaya displin, budaya menulis, semuanya  berakar dalam nilai-nilai yang
                        ditanam  lewat  proses  pembudayaan.  Kata  mencerdaskan  kehidupan  bangsa,
                        sebagaimana  disinggung  di  muka,  mempunyai  makna  kebudayaan  dan  dalam  arti
                        yang lebih tinggi, peradaban. Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan
                        untuk  menyelesaikan  persoalan  nyata.  Cerdas  bukan  berarti  keharusan  menghafal
                        seluruh mata pelajaran secara verbal, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus
                        menciptakan  solusi  bagi  kehidupan  nyata.  Atau  lagi-lagi  mencari  kambing  hitam
                        dengan mengatakan belum ada “undang-undang”nya.
                        Otak manusia memerlukan akurasi, dan itu tugas ilmu pengetahuan sementara jiwa
                        membutuhkan makna (meaning). Di situ kebudayaan memiliki peran sentral dalam
                        memaknai  tindakan.  Dalam  tradisi  akademik  di  mana  pun  di  dunia  maju,  ilmuwan
                        sejati  bukanlah  man  of  science,  melainkan  man  of  culture  (budayawan),  walaupun
                        tidak  dinyatakan  secara  eksplisit.  Sebab  ilmu  pengetahuan  tanpa  budaya  bisa
                        tergelincir  ke  teknologi  (appliead  science)  dan  penyalahgunaan  Iptek,  sengaja  atau
                        tidak,  dapat  menghancurkan  manusia  itu  sendiri  (Daoed  Joesoef,  2014).  Pada
                        akhirnya pendidikan sebagai jalan peradaban merupakan panggilan misi hati nurani
                        ― education is a calling of the conscience mission (Ho Hsiu-hwang, 1995).

                        Kelima,  bukan  murid  tetapi  gurulah  sesungguhnya  yang  memainkan  peran  sentral
                        dalam dunia pendidikan.  Pendidik sejati adalah guru yang menanam. Ibarat petani
                        yang  berkebun  di  taman  buah,  pada  waktunya  hasil  kebun  dapat  dipetik  untuk
                        dinimakti orang banyak. Guru sejati bukan petualang yang menyamar sebagai  guru
                        karena ketiadaan lapangan kerja, sehingga hasilnya menjadi desktrukif, mematikan
                        spirit  belajar  siswa,  misleading  dan  kedunguan.  Pendidik  sejati  adalah  orang  yang
                        dengan setia berbagi pengetahun kepada murid-muridnya sesuai dengan keahliannya
                        karena  profesi  guru  adalah  panggilan.  Sungguh  tidak  enak  menganalogikan  guru
                        dengan pematung karena ia mereduksikan para murid sebagai benda, tetapi pesan
                        yang ingin disampaikan di situ ialah bahwa profesi guru pada akhirnya sebuah seni
                        membentuk dan mengayomi sesuai dengan kaedah-kaedah standar. Selebihnya ada
                        ruang  di  mana  guru  bisa  berkreasi  secara  kreatif.  Yang  pertama,  mengacu  pada
                        penguasaan  disciplinary  content,  yang  kedua  pada  pedagogical  content;  yang


                                                                                                           11
   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47