Page 38 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 38

  Tujuan  pendidikan,  sejalan  dengan  tujuan  bernegara  dan  berbangsa  ialah
                           ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, sehingga mereka yang telah dicrdaskan oleh
                           pendidikan  (baik  secara  inteletual  maupun  moral),  harus  mampu  menolong  diri
                           sendiri dan masyarakat bangsa dalam arti luas. Selaku demikian pendidikan harus
                           mampu  mendorong  tumbuhnya  spirit  kesamaan  (demokratis)  dan  kebersamaan
                           (koperatif dan kolektifitas), bahkan antara guru dan murid harus menyatu. Konsep
                           ‘sistem among’ yang berbunyi: ing ngarsa sung tulada; ing madya mangun karsa;
                           tut wuri handayani sesungguhnya ditujukan untuk melawan semangat persaingan
                           individualistik  (atau  mungkin  lebih  tepat  egosentrisme)  yang  memompakan
                           perasaan  eksklusif  (sense  of  separateness)  dalam  pendidikan  kolonial.  Untuk
                           menunjukkan  kesungguhannya  Ki  Hadjar  bersedia  menanggalkan  gelar
                           kebangswanan sebagai simbol elitis agar lebih dekat bersama rakyat kebanyakan.
                           Sistem among, bagaimana pun juga bertentangan dengan model student centered
                           learning karena kodrat anak juga harus diamong atau dibimbing dan guru tetap
                           menjadi pusat teladan dalam mencerdaskan kehidupan peserta didik.

                          Pendidikan  tidak  mesti  terjadi  dalam  ruang  kelas.  Istilah  “taman-siswa”  (kebun
                           bunga  atau  lapangan)  tempat  anak-anak  belajar  sambil  bermain  menisyarakan
                           bahwa tempat belajar tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di rung terbuka. M.
                           Sjafei  menyebutnya  “ruangan  pendidikan”  yang  menekan  anak-anak  juga  dapat
                           belajar dari alam dan dari masyarakat luas.

                        Gagasan  pendidikan  nasional  yang  digagas  kedua  tokoh  pendidikan  di  atas  lahir
                        dalam iklim intelektual (zeitgeist) kolonial. Konsep pendidikan ansionala, karenanya,
                        juga  merupakan  anti-tesis  terhadap  pendidikan  kolonial  itu  sendiri.  Mekipun
                        demikian,  keliru  mengatakan  bahwa  pendidikan  kolonial  tidak  memiliki  kontribusi
                        yang  penting  terhadap  pertumbuhan  intelektual  generasi  musa  pada  masanya.
                        Umumnya  menghasilkan  apa  yang  disebut  “pemuda  salon”,  yaitu  mereka  yang
                        tercerahkan dalam pendidikan kolonial dengan orientasi ‘suka hidup senang’ dalam
                        gaya  hidup  budaya  kolonial.  Kebanyakan  mereka  adalah  generasi  yang  tercerabut
                        dari  sejarah  dan  akar  budaya  masyarakat  pribumi.  Hanya  sedikit  di  antara  mereka
                        yang  tetap  menganggap  penting  dan  meneguk  warisan  terbaik  dari  kearifan  lokal
                        dalam  budaya  nenek  moyang.  Dalam  teori  peradaban  Toynbee  mereka  termasuk
                        kelompok “creative minoty” yang tidak kehilangan élan vital dalam memperjuangkan
                        peradaban  Indonesia  baru  yang  dilukiskan  sebagai  “jembatan  emas”  menuju
                        kemerdekaan. Mereka inilah yang kemudian berperan sebagai  the founding fathers
                        Indonesia Merdeka.
                        Namun anomali peradaban dalam pendidikan Indonesia dewasa ini tidak sepenuhnya
                        ciptaan kuasa kolonial di masa lalu. Ia juga produk sejarah sejak awal kemerdekaan.
                        Sementara gagasan “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam Pembukaan UUD 1945
                        itu jelas merupakan saripati dari gagasan dan praktik pendidikan nasional yang telah
                        dikembanghkan oleh kedua tokoh pendidikan bangsa itu, lembaga pendidikan yang
                        “dinegerikan”  sebagai  sekolah  resmi  pemerintah  itu  adalah  warisan  kolonial
                        semuanya.  Mengapa,  misalnya,  tidak  Tamansiswa  dan/  atau  INS  Kayutanam  serta


                                                                                                            7
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43