Page 37 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 37

pendidikan nasional yang kita kenal dewasa ini. Keduanya pernah menjabat Menetri
                        Pendidika  di  zaman  perjuangan  kemerdekaan.  Sejak  tahun  1920-an  mereka  telah
                        merumuskan dan memperjuangkan pemikiran dan praktek pendidikan nasional, yang
                        kita kenal dewasa ini. Perkenankan saya memetik beberapa tesis pendidikan nasional
                        yang dikemukakan kedua kedua pemikir pendidikan nasional tersebut.
                          Pertama,  pendidikan  adalah  sebuah  perjuangan,  perjuangan  membebaskan  diri
                           dari belenggu kolonial. Dalam kata-kata Ki Hadjar sendiri disebutkan “pendidikan
                           sebagai  sjarat  oentoek  menghidoepkan  dan  menggerakkan  kekoeatan  lahir  dan
                           batin dari anak hingga bisa hidoep merdeka” (Ki Hadjar, 1961: 8). Kemerdekaan
                           hanya  mungkin  jika  dimulai  lewat  pengenalan  diri.  Di  situ  melekat  konsepsi
                           tentang siapa manusia, yaitu manusia yang memiliki jiwa, daya cipta, karsa dan
                           karya. Sejalan dengan Ki Hadjar, pemikir pendidikan dari Amerika Selatan,  Paulo
                           Freire,  menyebut  ‘pendidikan  sebagai  pembebasan’.  Dalam  adagium  patriotik
                           Bung Hatta disebut “menjadi tuan di negeri sendiri”. Seseorang atau suatu bangsa
                           tidak  mungkin  menentukan  sikap  atau  mengambil  keputusan  manakala  dalam
                           dirinya tidak ada kemerdekaan.
                          Konsep  pendidikan  yang  benar  (true  education)  bukan  terbatas  hanya  pada
                           pengajaran (onderwijs), melainkan juga mendidik atau ‘mengamong’ (opvoeding).
                           Antara  keduanya  bebeda,  tetapi  memiliki  hubungan  fungsional.    Yang  pertama
                           lebih berorientasi pada transfer of knowledge, yang kedua mencakup “transfer of
                           knowledge” dan “transfer of values”. Yang pertama memerdekakan manusia dari
                           ketidktahuan  menjadi  tahu;  jadi  aspek  hidup  lahiriah  (kemiskinan  dan
                           keterbelakangan dalam budaya material). Sedangkan yang kedua memerdekakan
                           manusia  dari  aspek  hidup  batin  (otonomi  berpikir  dan  mengambil  keputusan,
                           martabat,  mentalitas  demokratik).  Dengan  demikian  mendidik  dalam  arti  yang
                           sesungguhnya  adalah  proses  memanusiakan  manusia  (humanisasi),  yakni
                           mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia ke taraf yang lebih tinggi dari
                           yang  sebelumnya.  Erat  kaitannya  dengan  butir  pertama  di  atas,  di  dalam
                           pendidikan terkandung semangat perjuangan, yakni perjuangan memerdekan diri
                           dari belenggu mentaliteit pejajahan.

                          Pendidikan  tidak  akan  lengkap  tanpa  mengenali  akar  kebudayaan  sendiri.
                           Pendididikan  nasional  yang  dicita-citakan  para  pendiri  bangsa  ini  tidak  terlepas
                           dari kebudayaan. Pendidikan bertanggung jawab membangun nilai-nilai kehidupan
                           bagi  anak-anak  sejak  dini.  Pendidikan  Barat  yang  diperkenalkan  Belanda  (baca:
                           pendidikan kolonial), menginstal  nilai-nilai yang keliru pada anak-anak. Penguasa
                           kolonial rupanya sangat sadar bahwa kebudayaan merupakan senjata yang sangat
                           ampuh  untuk  menjauhkan  anak-anak  dari  sejarah  dan  budaya  mereka  sendiri.
                           Pendidikan  kolonial  membuat  murid-murid  menjadi  asing  dan  bahkan
                           merendahkan budaya sendiri, sehingga mereka tidak mengenal lagi prinsip kreatif
                           dari  budaya  masyarakat  di  mana  mereka  hidup.  Dalam  metafora  Minangkabau
                           disebut “maangok kalua badan” (bernafas dengan nafas orang lain).





                                                                                                            6
   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42