Page 36 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 36
pengetahuan, suatu pengertian tentang dunia dan bagaimana kita hidup di dalamnya.
Dengan cara yang sama, peradaban merupakan kualitas kehidupan, pengetahuan dan
parktek bagaimana kita sebagai ‘manusia beadab’ bertindak dalam masyarakat,
menggunakan pikiran intelektual dan tatakrama gune menciptakan standar-standar
ideal dalam kehidupan sosial-budaya bangsa dan dalam berbangsa dan bernegara
dalam arti luas.
FONDASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA.
Pentingnya hubungan pendidikan dan peradaban dalam kehidupan suatu bangsa
sudah disadari oleh para the founding fathers kita sejak awal kemerdekaan. Dalam
Pembukaan UUD 1945, dinyatakan negara mengemban misi besar untuk
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dari pernyatan singkat dan padat itu jelas
bahwa "kehidupan" lah yang harus dicerdaskan, bukan sekedar kemajuan otak atau
keterampilan tingkat tinggi. Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih merupakan
konsep budaya atau peradaban ketimbang konsep biologis genetika (Sri Edi Swasono,
Kompas, 16/8/2005).
Para pendiri negara kita sejak semula percaya bahwa pendidikan yang
“mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan prasyarat (conditio sine qua non) bagi
mencapai kemerdekaan sejati. Itulah kata kunci paradigma pendidikan nasional yang
telah diletakkan dasas-dasarnya oleh para pendiri bangsa ini di masa lalu. Agaknya
tidak banyak di antara kita yang menyadari bahwa Indonesia adalah satu-satunya
bangsa terjajah, yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem
nasional vis-a-vis sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena itu, pemahaman yang
lebih baik tentang konsep pendidikan nasional sebagaimana yang kita kenal dewasa
ini hanya bisa dihayati dengan menyelami pemikiran dan praktek pendidikan nasional
yang telah dirintis jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Dua tokoh pemikir dan
praktisi pendidikan bangsa paling terkemuka ialah Ki Hadjar Dewantara (1889-1959)
dari Jawa dan Engku Muhamad Sajfei (1893-1969) dari Sumatera Barat. Tentu saja
tidak boleh dilupakan sumbangan penting dari lembaga pendidikan Islam, khususnya
yang dikembangkan lewat pesantren dan/atau madrasah.
Ki Hadjar da M. Syafei khususnya dianggap sebagai peletak dasar pendidikan nasional
sebagai alternatif terhadap pendidikan Barat yang diperkenalkan pemerintah kolonial
Belanda. Ki Hadjar dikenal sebagai pendiri Tamansiswa di Yogyakarta tahun 1922,
mirip dengan dan sedikit banyak dipengaruhi oleh gagasan pendidikan Shanti Niketan
Rabindranath Tagore di India. Selain filosofi pendidikan yang kental dengan gagasan
nasionalisme, Tamansiswa terkenal dengan konsep sistem among dalam proses
belajar-mengajar siswa. Sementara M. Sjafei dikenal sebagai pendiri INS Kayutanam
(INS singkatan dari Indonesische-Nedrerlandsch School (1926) ― kemudian berubah
menjadi Indonesisch Nationaal School), dengan konsep “ruang pendidikan INS”.
Meskipun terdapat beberapa nuansa perbedaan dalam gagasan dan praktek
pendidikan antara Ki Hadjar dan M. Sjafei, keduanya dianggap peletak dasar
5