Page 40 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 40
bangsa” hilang ditelan oleh kesibukan rutinitas. Sekarang siapa yang berani
mengklaim bahwa pendidikan kita sudah bagus dan stabil, kecuali mungkin para
birokrat pendidikan yang cenderung narsistik. Namun jika kita membaca tulisan para
pengamat ahli dan independen sejak sepuluh terakhir ini dunia pendidikan nasional
kita sedang sakit dan kian memprihatinkan.
Tanpa perlu mengutak-atik statistik perbandingan kemajuan pendidikan di Indonesia
dalam pelbagai tingkat dengan negara-negara maju, bahkan dengan negeri jiran
sekalipun, kita sebenarnya dari waktu ke waktu sudah cukup banyak disuguhkan
dengan fakta-fakta tentang pendidikan kita memang sedang sakit. Karena itu tidak
ada alasan untuk melemparkan kesalahan dengan mencari kambing hitam dalam
dunia pendidikan, kecuali memikir kembali perjalanan pemikiran pendidikan nasional
kita selama ini.
Pertama, kiranya sudah sangat jelas, bahwa tujuan pendidikan bukan terutama untuk
memperoleh pengetahuan kognitif sebanyak-banyaknya, walaupun itu penting,
seperti juga perolehan keterampilan teknis, walaupun esesial dalam masyarakat
modern, tetapi yang jauh lebih penting ialah pesan peradaban dalam misi pendidikan
“menecerdaskan kehidupan bangsa”, yang sekaligus juga menjadi misi dan alasan
untuk apa kita mendirikan Republik ini, Republik Indonesia. Dalam uraian di atas kita
telah membincangkan tentang hubungan antara pendidikan dan peradaban dalam
arti kualitas terbaik pikiran (excellent thoughts), tatakrama dan merasa (feeling and
taste) serta moralitas publik pada umumnya. Kalau sekarang ditanya apakah adakah
hubungan antara pendidikan dan peradaban maka banyak orang yang percaya bahwa
gagal membangun hubungan antara pendidikan dan peradaban. Pendidikan kita
sejauh ini tidak membuat orang lebih beradab dan bahkan kepanikan baru karena
munculnya gejala pengangguran kaum terpelajar yang tidak tertampung dalam dunia
kerja. Pendidikan mungkin dapat menghasilkan orang cerdas yang berketerampilan
tinggi, tetapi kebanyakan hanya menghasilkan a clever devil yang bijaksana dan bisa
diajak “bekerja sama”. Dunia pendidikan kita tampaknya memiliki banyak contoh
tentang evil genius, tetapi minus moralitas publik. Disodorkannya konsep
“pendidikan karakter” belakangan ini, tak syak lagi, merupakan bukti kegalauan
dalam menyaksikan hasil pendidikan yang mengecewakan selama ini. Namun jantung
persoalan sebenarnya tidak sepenuhnya terletak di sana. Perkenankan saya
menjelaskannya pada butir kedua berikut ini.
Kedua, selama puluhan kita menyaksikan tidak ada upaya pemikiran ulang
(rethinking) terhadap asumsi-asumsi dan tujuan pendidikan yang telah diletakkan
kerangka dasarnya oleh pendiri bangsa, sehingga terjadi semacam keterputusan atau
pembelokan pendidikan nasional dari fondasi lama. Hampir semua wacana pemikiran
pendidikan kita, termasuk dalam hal pendidikan karakter berkiblat ke Barat dan
kebanyakan tanpa catatan kaki tentang isu yang sebenarnya sudah ada dalam
khzanah pemikiran pendidikan terdahulu. Soal pendidikan karakter, misalnya, adalah
bagian inheren dalam pendidikan seperti yang dikemukakan oleh para pemikir
sebelumnya, tetapi dewasa ini ia muncul sebagai formula indoktrinasi yang berbau
politik pendidikan yang disodorkan dari luar. Diskursus ilmiah tetang pendidikan
9