Page 43 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 43
pertama karenanya memiliki karaktersitik obyektivitas dan disciplin oriented, yang
kedua relevan untuk metode pegajaran dan ujian. Yang pertama adalah prerequisite
untuk yang kedua. Pada titik ini kita berjumpa dengan isu kronis dalam pendidikan:
tambal sulam kurikulum. Pendidikan sebagai proses pemerdekaan tidak mungkin
dicapai apabila gurunya sendiri terbelenggu. Maka sungguh ironis, jika kreativitas
guru sebagai nakhoda di dalam kelas dibebani oleh prangkat navigasi yang begitu
rumit dan melelahkan. Sejalan dengan Pasal 38 UU SISDIKNAS Tahun 2003, tugas
pejabat pendidikan cukuplah menggariskan "kerangka dasar dan struktur umum
kurikulum". Selebihnya, berikan kebebasan kepada guru untuk berimprovisasi. Pada
akhirnya kita semua menyadari bahwa upaya melahirkan guru profesional sungguh
tidak mudah. Gagasan pendidikan guru ‘kedinasan’ dan berasrama bukanlah ide yang
baru. Tampaknya ide ini mendesak diwujudkan, sebab bekal ijazah kesarjanaan di
berbagai disiplin ilmu saja tidak lagi cukup. Para calon pendidik masih harus
mendapatkan proses penggemblengan dalam kecakapan ilmu pendidikan, setidaknya
selama satu tahun. “Itulah peta jalan sederhana agar dunia pendidikan benar-benar
menunaikan kerja mendidik tunas-tunas harapan bangsa demi keselamatan dan
kebahagiaan hidup bersama” (Yudi Latif, 2016).
PENUTUP.
Pendidikan suatu bangsa harulah berbanding lurus dengan akar kebudayaan bangsa
itu sendiri dan dalam arti tertentu peradaban Indonesia baru. Bangsa yang memiliki
sistem pendidikan yang baik tidak pernah merendahkan kebudayaannya sendiri
seraya menjadi sangat hiper-konsumtif dengan input luar. Output pendidikan yang
kompitebel mestilah sejalan dengan amat pendidikan yang mencerdaskan
kehidupan bangsa, suatu tafsir budaya dalam pradigma pendidikan nasional
Indonesia. Kita tidak memerlukan generasi unggul tetapi munus kesadaran kolektif.
True education sesungguhnya adalah penyulingan dari pemikiran terdahulu,
penajaman, pemerian dan ekstraksi atau penghaluan berfikir dan merasa. Pemikiran
pendidikan di Indonesia nampaknya kian pragmatik dan dangkal. Mungkin sangat
canggih dalam menuangkan gagasan, tetapi seperti dikatakan di muka, kehilangan
makna, sebab konon setan bersembunyi dalam detail ― the devil is in the detail.
Pada akhirnya mungkin ada yang merasa bahwa persoalan dibentangkan dalam
kertas kerja ini terlalu "berat", terutama bagi mereka yang mempunyai banyak
pertanyaan, tetapi sedikit jawaban. Saya sendiri menyadari, bahwa pertemuan ini
akan mencerminkan kenyataan bahwa kita seringkali mengetahui lebih sedikit
daripada yang kita kira, tetapi mungkin mendapat manfaat yang lebih besar
daripada tidak berbagi sama sekali. Apakah ini tidak masuk akal demi memikir ulang
pemikiran pendidikan nasional kita. ***
KEPUSTAKAAN
Daoed Joesoef, “Pendidikan dan Kebudayaan”, Harian Kompas (07/11/2014).
12