Page 41 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 41

karakter tampaknya merasa lebih bergengsi mengutip literatur barat, padahal semua
                        sudah  teresdia  dalam  khazanah  budaya  kita,  budaya  lokal,  agama  dan  Pancasila.
                        Pendidikan kita juga sudah lama dibajak oleh politisi untuk tujuan-tujuan pragmatik
                        tatkala  Pilkada  manajemen  sekolah  terancam  karena  dipaksa  menjadi  pendukung
                        suara kontestan tertentu atau kepala daerah memaksa pimpinan sekolah menaikkan
                        ranking sekolah di daerahnya dengan prosentase kelulusan yang harus lebih tinggi
                        dari daerah lain. Yang terjadi kemudian ialah manipulasi nilai rapor atau ujian siswa.
                        Lalu apa artinya kalau pengriman dan pemindahan dokumen soal ujian dari pusat ke
                        daerah  harus  dijaga  polisi?  Tidak  salah  juga  kalau  urusan  pendidikan  pada  giliran
                        menjadi anomali, identik dengan urusan kriminal sehingga perlu melibatkan polisi.
                        Ketiga, erat kaitannya dengan butir di atas,  ialah bahwa para pengambil kebijakan
                        pendidikan di negeri ini sering latah dengan ide-ide besar dan istilah-istilah yang tidak
                        kita  pahami  benar  medan  maknanya  (Yudi  Latif  1999:  186).  Ini  adalah  kebiasaan
                        buruk  yang  memperdayakan  karena  pendidikan  pada  gilirannya  dibajak  oleh
                        industrialis  atau  “tangan  tak  tampak”  tatkala  “pendidikan  siap  pakai”  kian  keras
                        gaungnya.  Inilah  yang  terjadi  ketika  bola  salju  perdebatan  tentang  isu  pendidikan
                        berorientasi  industri  mengelinding  pada  tahun  1990-an  tatkla  Pak  Menteri
                        mengusung konsep  link and match sesuai dengan langgam keahliannya. Kurikulum
                        “pendidikan  siap  pakai”  digagas  sedemikian  rupa,  sementara  pengertian
                        industrialisasi  itu  sendiri  bagi  kebanyakan  para  praktisi  pendidikan  masih  samar-
                        samar  dipahami  makna  dan  cakrawalanya.  Kebanyakan  memahami  industrialisasi
                        kira-kira sama dan sebangun dengan fungsi masukan dan perolehan pengembangan
                        teknologi  dalam  pendidikan  untuk  memenuhi  lapangan  kerja  di  bidang  industri.
                        Dengan demikian pendidikan berorientasi industri mereduksi tujuan pendidikan yang
                        sebenarnya  sebagai  hanya  pemasok  “suku  cadang”  siap  pakai  (siap  latih)  guna
                        memenuhi kebutuhan industri. Ujung-ujungnya ialah bangsa kita kesusu untuk segera
                        menghasilkan  tukang  berketerampilan  tinggi  dan  bergaji  tinggi,  tetapi  minus
                        wawasan  budaya  di  belakang  teknologi.  Kecenderungan  ini  tampaknya  masih
                        berlanjut  sampai  hari  ini  dan  generasi  muda  kita  harus  bersaing  ketat  untuk
                        mendapatkan jurusan-jurusan yang dianggap “basah” dan sebaliknya bidang-bidang
                        yang  “kering”  dan  tidak  berguna  khususnya  dalam  ilmu-ilmu  sosial,  sejarah  dan
                        humaniora. Tentu masih banyak lagi. Ide-ide tentang pendididikan berbasis ini dan itu
                        semakin  membingungkan,  mana  yang  basis,  mana  azas,  mana  prinsip,  mana
                        substansi dan mana praksis pendidikan; semua kian tidak begitu jelas lagi. Debat yang
                        relatif baru dan agak menggelikan ialah ketika hampir semua universitas di tanah air
                        menggulirkan wacana “world class universty”.

                        Keempat,  dimensi  kebudayaan  dalam  pendidikan  kian  hilang  dan  bahkan  pernah
                        kebudayaan  suatu  waktu  dilucuti  dari  kementerian  ini.  Sejak  itu  kebudayaan
                        dipahami sebagai komoditas yang laku dijual, sehingga ia diletakkan di kementerian
                        pariwisata. Untunglah ini kemudian disadari dan sekarang sudah dikembalikan lagi.
                        Inkonsistensi  dalam  kebijakan  pendidikan  semacam  ini  tidak  hanya  mencerminkan
                        betapa dangkalnya pemahaman kita tentang kebudayaan, tetapi juga hilangnya sendi
                        peradaban  dalam  pendidikan  nasional  yang  telah  dibangun  oleh  para  pendahulu


                                                                                                           10
   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46