Page 49 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 49
4
dan penyimpanan informasi sejarah
kesejarahan
2. Tidak terbatas pada kebudayaan lisan 2. Terbatas pada kebudayaan lisan
3. Sengaja dicari dengan teknik 3. Didapat secara langsung
wawancara
4. Termasuk kesaksian mata 4. Tidak termasuk kesaksian mata
5. Si pencerita merupakan bagian dari 5. Si pencerita bukan merupakan bagian
peristiwa dari peristiwa
6. Disampaikan secara langsung dari 6. Disampaikan secara turun temurun dari
pelaku satu generasi ke generasi berikutnya
Menurut Sibarani (2000) tradisi lisan adalah semua kesenian, pertunjukan atau
permainan yang mengguanakan tutur lisan. Unsur kelisanan merupakan bagian utama dari
tradisi lisan. Menurut Dorson (1963) tanpa kelisanan suatu budaya tidak bisa disebut tradisi
lisan. Oleh karena itu secara utuh tradisi lisan mempunya dimensi: (1) kelisanan, (2)
kebahasaan, (3) kesetaraan, dan (4) nilai budaya.
Perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut, sehingga menimbulkan banyak
versi cerita. Menurut Hutomo (1991), tradisi lisan mencakup beberapa hal, yakni: (1) berupa
kesusastraan lisan, (2) berupa teknologi tradisional, (3) berupa pengetahuan folklore di luar
pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan
folklore di luar batas formal agama-agama besar, (5) berupa kesenian folklore di luar pusat-
pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) berupa hukum adat.
Menurut Vansina (1985) tradisi lisan sebagai "pesan verbal berupa pernyataan yang
dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini" di mana "pesan itu haruslah berupa
pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik"; "Haruslah ada
penyampaian melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi". Para
sosiolog, bahasawan, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masing-masing,
yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur
kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah
bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng). Tradisi lisan dapat didefinisikan sebagai
kesaksian yang disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Persifatan khusus sedemikian adalah tentang keverbalannya dan cara bagaimana ia
disampaikan (Ki-Zerbo, 1990).
Tradisi lisan memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang pada
dasarnya memiliki empat fungsi, yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat
pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan
lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan, dan (4) sebagai alat pemaksa dan
pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
Tradisi lisan sebagai bagian dari kajian lokal ataupun kearifan lokal menurut Lapian
(1980) menunjukkan bahwa kepentingan lebih lanjut dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk
bisa mengadakan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam
penulisan sejarah nasional”. Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang menyangkut
periodisasi sejarah Indonesia yang sering diberi istilah Zaman Hindu. Pada kenyataannya ada
daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu,
Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada pula daerah-daerah yang sampai sekarang masih
berpegang pada Hinduisme (seperti Bali, dan sebagian Lombok). Di sini juga nampak bahwa
pengembangan penulisan sejarah lokal akan memberikan bahan pengecekan terhadap
anggapan teoritis yang bersifat menggeneralisasikan masalahnya untuk seluruh Indonesia.
Ada beberapa aspek positif dalam pembelajaran sejarah local yang umumnya
bersumber dari tradisi lisan, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang bersifat