Page 55 - PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari Dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Persepektif Sejarah Jakarta, 7 – 10 November 2016 Jilid VII
P. 55

10


                       Orang  Bugis-Makassar  tidak  hanya  sukses  di  tanah  rantau,  tetapi  juga  mampu
               beradaptasi  dengan  lingkungan dimana mereka  berdiam.  Di beberapa daerah kehadirannya
               banyak  mewarnai  dinamika  dan  eksistensi  masyarakat  setempat.  Di  tanah  Jawa  mereka
               mampu  hadir  ditengah  riuh  rendah  pergolakan  pada  zaman  Kerajaan  Mataram  Islam,
               sehingga muncullah Kampung Bugisan dan Daengan. Di tanah para Dewa, mereka berbaur
               dengan  masyarakat  dan  budaya  Bali  hingga  muncullah  kampung  Serangan.  Di  daratan
               Sumatera,  Kalimantan,  Maluku,  Nusa  Tenggara,  Papua  bahkan  hingga  di  luar  negeri
               keberadaan  mereka  juga  tercatat  dalam  sejarah  dan  benak  masyarakat  pribumi.  Entah  itu
               catatan bertinta emas dan atau bertinta kelabu. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa catatan
               kelabunya  tidaklah  sebanyak  catatan  emasnya.  Kemampun  mereka  beradaptasi  dengan
               masyarakat dan budaya setempat adalah kuncinya.
                       Khasanah  budaya  Bugis-Makassar  sendiri  banyak  mengajarkan  falsafah-falsafah
               hidup  sebagai  kearifan  lokal  yang  menjadi  bekal  bagi  para  perantau.  Beberapa  falsafah
               tersebut  diantaranya:  Palettui  aleta  riolo  tejjokata;  pasaniasai  jamatta  riolo
               temmototta=sampai  ke  tujuan  sebelum  berangkat;  selesaikan  pekerjaan  esok  hari  sebelum
               bangun tidur.
                       Falsafah  ini  mengajarkan  kepada  calon  perantau  agar  tidak  “merantau  buta”,  atau
               tidak  merantau  tanpa  arah  dan  tujuan  yang  jelas.  Perantau  sejati  Bugis-Makassar  tidak
               merantau  dengan  mengikuti  arah  kaki  kemana  hendak  melangkah,  tidak  boleh  berprinsip:
               tegi-tegi  monro  tallenttung  ajeta,  konitu  leppang  (dimana  kaki  terantuk,  disanalah  kita
               berhenti). Prinsip ini bermakna dan bersugesti negatif, tetapi merantau harus disertai dengan
               kepastian akan tempat yang dituju apa yang akan dikerjakan di sana, bahkan calon perantau
               harus meyakinkah ruh dan jiwanya sudah ada dan menyatu dengan negeri rantau yang akan
               dituju.
                       Hukum ekonomi yang meminimalkan modal dan memaksimalkan keuntungan adalah
               inti  yang  diajarkan  dalam  falasafah  ini.  Seorang  perantau,  harus  berangkat  dengan  bekal
               sedikit  dan  kelak  jika  pulang  harus  membawa  hasil  sebanyak-banyaknya.  Di  luar  ranah
               ekonomi, falsafah ini juga bermakna “lihatlah ketika anda berangkat merantau anda bukan
               siapa-siapa,  maka  saat  anda  kembali  nanti,  maka  anda  harus  menjadi  orang  terpandang”.
               Pemaknaan  ini  cocok  untuk  mereka  yang  merantau  dengan  tujuan  menimba  ilmu  atau
               mengejar jenjang karir, ataupun mereka yang merantau karena mengejar cintanya.
                        Niat yang teguh, tekad yang bulat, semangat yang membara harus terus terjaga, tak
               boleh  luntur    dalam  perjalanan  ke  negeri  rantau  bahkan  saat  berada  di  negeri  rantau  itu
               sendiri.  Seorang  perantau  harus  berpegang  pada  niat,  tekad  dan  semangat.  Jika  tidak,
               dikhawatirkan ia akan mundur atau surut jauh sebelum ia mencapai yang diimpikannya, serta
               mundur sebelum tiba di negeri rantau.
                       Falsafah tersebut menegaskan bahwa seseorang yang telah memilih merantau sebagai
               jalan hidup, harus kukuh, kokoh dan kekeh dengan pilihannya. Tidak boleh ada kata mundur
               apalagi batal, sehinga tidak jadi merantau, apapun resikonya, seperti ungkapan sebelumnya
               yang menggambarkan seorang pelaut yang telah memasang kemudinya, sudah kembangkan
               layarnya,  mereka  tidak  akan  surut  kembali  sebeluam  samapai  pada  tujuannya.  Falsafah
               tersebut adalah contoh  kecil dari beragamanya kearifan lokal Bugis-Makassar  yang terkait
               dengan ikhwal kemaritiman yang dikemas dalam beberapa tradisi lisan.
   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60