Page 18 - Kepemimpinan Tradisional 22.1.15
P. 18
Kepemimpinan Tradisional di Indonesia
sebagai pengawas hutan melaporkan kepada Tu’ Mutung untuk selanjutnya
dilaporkan kepada Ammatoa. Semua pelanggaran disidang melalui
pengadilan adat yang dipimpin oleh Ammatoa. Siapa pun pelakunya pasti
diadili dan dikenakan sanksi, tanpa perlakuan khusus antara satu dengan
yang lainnya. Penegakan hukum dalam masyarakat adat Kajang dikenal
dalam ungkapan “Manna anakta punna salai, nipatabai tonji pasala” (walaupun
anak kita kalau bersalah pasti dikenakan sanksi).
Penegakan hukum terutama terkait dengan pengrusakan hutan adalah
sangat urgen, karena hutan di dalam kawasan adat berungsi sebagai konserfasi,
yang mengatur tata air. Hutan dipahami sebagai apparik bosi dan apparik
tumbusuk (penyebab turunnya hujan dan timbulnya mata air). Oleh karena
itu, hutan dipandang sebagai sumber air untuk kebutuhan hidup sehari-hari
dan kebutuhan untuk irigasi. Selain itu, hutan dipandang sebagai tempat
12
bersemayam roh leluhur, tempat melakukan ritual, sehingga eksistensinya
harus dijaga demi kelangsungan hubungan manusia dengan Turiek Akrakna.
Beberapa nilai dasar seorang Ammatoa antara lain kejujuran, keadilan,
nilai kesabaran sebagai guru, yang menuntun, menasihati dan mendidik
warganya untuk memahami dan mengamalkan pasang. Ammatoa senantiasa
bersikap sabar, tekun dan tidak bosan-bosannya menanamkan pasang, setiap
ada kesempatan kepada warganya. Ammatoa juga harus sabar, dalam artian
tidak emosi, gegabah dalam memutuskan suatu tindakan atau kebijakan
dalam abborong, atau memutuskan perkara dalam pengadilan adat. Dengan
sikap sabar, keputusan yang diambil akan lebih berkualitas dan objektif. Nilai
kesabaran sering pula disandingkan dengan nilai pasrah untuk menerima
takdir yang telah digariskan oleh Turiek Akrakna. Nilai sabar dan pasrah
itu diwujudkan dalam bentuk kehidupan kamase-mase (sangat sederhana).
Ammatoa juga mengamalkan sejumlah nilai sebagai pendungkung untuk