Page 62 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 62
Soetardjo Kartohadikoesoemo 49
Soetardjo menjabat sebagai asisten wedana pada 1913. Saat itu,
terjadi gerakan kepercayaan Samin pimpinan Surontiko yang
menentang kekuasaan pemerintah. Soetardjo berperan
memadamkan gerakan Samin dengan pendekatan persuasif terhadap
para penganutnya.
Pada 1915, ia menyandang jabatan jaksa di Rembang. Kinerja
yang baik membawa Soetardjo ke Batavia untuk sekolah di
Bestuurschool (sekolah tinggi pemerintahan) antara 1919–21. Di
sana, ia memimpin redaksi kalawarta Oud Osviaan. Pada 1919,
Soetardjo pernah membuat tulisan dalam pamflet yang berisikan
keluhan dan diskriminasi yang dialami pamong praja bumiputra.
Mereka seringkali ditegur di depan umum oleh pejabat
Belanda, dan tidak memiliki hak inisiatif, atau pengembangan
intelektual atau ekspresi berpendapat, tulis Susan Abiyasekere dalam
“The Soetardjo Petition” (1973). Tulisan Soetardjo tersebut menjadi
tanda awal sentimen antikolonial dalam dirinya. Lebih lanjut
Abeyasekere menulis bahwa kampanye Soetardjo untuk menaikkan
status dan moral pamong praja kemudian terlihat dalam Volksraad;
gerakan mendesak pemerintah untuk menunjuk kedudukan orang
Indonesia ke tingkat administrasi yang lebih tinggi.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Bestuurschool,
Soetardjo kembali ke Rembang hingga menjadi wedana. Pada 1929,
saat menjadi patih di Gresik, ia terlibat dalam pembentukan
Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB) dan terpilih
sebagai wakil ketua, sedangkan Bupati Bandung Raden Adipati Aria
Wiranatakusuma V menjadi ketuanya.
3
Loyalitas Soetardjo sebagai pegawai kolonial tak disangsikan
dalam PPBB. Saat itu, Gubernur Jenderal Jonkheer A. C. D. de Graaf
memulihkan kedudukan kepala dan pegawai jawatan pegadaian yang
melakukan aksi mogok. Namun kebijakan itu menuai kecaman dari
seorang wartawan Belanda bernama Zentgraaf yang dikenal vokal.
Dalam surat kabar Surabaiasch Hendelsblad, Zentgraaf melontakan
kritik tajam yang merendahkan wibawa pemerintah kolonial.