Page 51 - Kelas XI_Sejarah Indonesia_KD 3.6
P. 51
51
Bukittinggi dikirim Anwar Sutan Saidi sebanyak empat orang pemuda yang
belajar kepada Hatta.
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran
Pemandangan yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak
kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, pada zaman
Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang untuk tidak
percaya Hatta selama Perang Pasifik. Yang mana, kelak tulisan Hatta
dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kempeitai (dinas intelijen) dan
menyarankan Hatta agar mengikuti Nippon Seishin di Tokyo pada
November 1943.
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang
Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor,
Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam
keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk
memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena
khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada
Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik
kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-
anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal
Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada
menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan
penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat. Ia dijadikan
penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje
Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal pada masa sebelum perang,
baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerja sama dengan Belanda,
diikutsertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno
Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo
Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga
baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepang. Jepang
mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang menguntungkan
mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan
rakyat.
Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia
kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan
konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Panitia kecil itu
beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya
Bung Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis,
Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno
Tjokrosujoso.
Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno
dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik
sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan
pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan
dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi.
Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok
hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke
sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di
sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).
Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka
mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari,
mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan