Page 32 - Nanda Amalia - Hukum Perikatan
P. 32
bagaimanapun keadaannya. Kondisi ini disebut juga dengan istilah
impossibility – misal, jika barang yang menjadi objek dalam perikatan
tersebut tidak dapat lagi ditemui di pasaran dikarenakan sudah tidak
diproduksi lagi.
4. Force majeure yang relative, disebut juga dengan impracticality –
merupakan kondisi dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak lagi
dapat dilaksanakan, walaupun secara tidak normal pada dasarnya masih
bias dilaksanakan. contoh force majeure bentuk ini adalah terhadap
kontrak ekspor impor dimana tiba-tiba pemerintah mengeluarkan
larangan terhadapnya. Secara normal, kontrak ini tidak dapat
dilaksanakan, namun dengan cara tidak normal seperti penyelundupan
(illegal), kontrak masih dapat dilaksanakan.
5. Force Majeure yang permanent, dalam hal ini prestasi sama sekali tidak
mungkin dapat dilaksanakan, sampai kapan pun walau bagaimanapun.
Misal, kontrak pembuatan lukisan, tetapi si pelukis menderita sakit
stroke (misalnya) yang tidak dapat sembuh lagi sehingga dia tidak
mungkin lagi melukis sampai kapan pun.
6. Force majeure yang temporer adalah suatu force majeure dimana
prestasi tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, tetapi nanti
nya masih mungkin dilakukan. Misal, perjanjian pengadaan suatu
produk tertentu, namun dikarenakan berhentinya operasional pabrik
yang disebabkan oleh mogok buruh, maka force majeure terjadi.
Setelah keadaan reda, dan buruh kembali bekerja dan pabrik beroperasi
kembali maka prestasi dapat dilanjutkan kembali.
(Munir Fuady, 2002: 17 – 20).
I. Ganti Rugi.
Ganti rugi merupakan kewajiban pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan penggantian atas kerugian yang telah ditimbulkannya.
Ganti rugi secara implicit diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata “Tiap-tiap
perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila
si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya
dalam kewajibannya memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
10