Page 38 - Cara Menjadi Pengusaha
P. 38
“Saya salut sama Pak Purdi. Sebagai seorang wirausahawan, ia selalu melakukan
hal-hal yang tidak rasional dan terlalu berani. Tidak punya modal cukup, berani buka
usaha. Terlalu optimis terhadap ide-ide rencana usahanya, dan mengambil risiko adalah
pekerjaan biasa,” demikian kata Pak Jaya lagi dalam kesempatan pidatonya. Entrepreneur
lain yang disebut Pak Jaya adalah Tirto Utomo, yang rupanya lebih gila lagi. Tirto Utomo
bisa menjual air (aqua) lebih mahal dari bensin. Dan bisnis Tirto pun saat ini juga
berkembang sangat pesat.
Jaya Suprana mengatakan begitu, karena memang faktanya demikian. Banyak
usaha yang dimulai dari ide-ide gila, dan keberanian yang luar biasa. Bagi orang awam,
perilaku wirausaha memang terasa aneh dan sulit dicerna. Tetapi bila dilihat dari sisi
motivasi, mereka memang orang-orang yang memiliki motivasi yang tinggi (high
achiever) dalam meraih sesuatu. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena “hujatan”.
Padahal, belum tentu memiliki kepandaian dan ketrampilan yang memadai untuk
memulai usahanya.
Entrepreneur itu adalah pemberani, walaupun belum tentu ia orang pandai. Orang
pandai justru belum tentu berani. Hal ini mungkin karena terlalu berhitung. Banyak
wirausaha yang lahir bukan karena pandai, tetapi karena berani. Berani memulai
usahanya. Berani meraih peluang. Tidak pernah takut.
Menurut Marianne Williamson, ketakutan kita yang paling mendalam bukan
karena kurang memadai. Ketakutan yang paling mendalam adalah karena kita terlalu
kuat. Sisi terang, bukan sisi gelap yang membuat kita takut. Dari kalimat tersebut
dapatlah diambil kesimpulan, bahwa makin tahu banyak hal, maka makin membuat orang
takut mencoba. Sehingga teman saya yang seorang akuntan, dan ingin berwirausaha, ia
akan selalu menghitung feasibility-nya dan tidak pernah memulai usahanya. Sementara,
peluang yang sama telah direbut orang lain.
Saya tidak menyarankan untuk tidak menghitung rencana usaha Anda. Tetapi,
keberanian untuk memulai nampaknya harus didahulukan. Ada teman saya yang ingin
membuka usaha retail atau warung kelontong. Yang dia hitung dan bayangkan, adalah
akan membutuhkan modal yang banyak, tempat yang bagus, dan bayangan yang serba
menakutkan. Dan, pada saat bertemu dengan saya, dia saya sarankan membuka retail-nya
dulu, baru berpikir kemudian. Ternyata betul juga, begitu retail-nya dibuka, banyak orang
yang menitipkan barang (konsinyasi), dimana sebelumnya hal tersebutak pernah
dipikirkan. Kemudian ada petugas bank yang menawarkan pinjaman uang untuk